mencoba saja

Sunday, February 28, 2010

Seorang Pecatur kepada Pesepakbola

TAK akan terdengar ada sorak, seru serak, dengus
napas, dan keringat, di bidang pertarungan kami,
tapi ini bukan sekadar petak-petak yang 64 kotak.

Kami tak mengejar bola. Tapi dalam diam, kami lari,
jauh sekali, menempuhi lorong: labirin kemungkinan.

Dan rasakan risau itu, redam gegaung, suara detak,
getar di tangan, dan memuncak bila ada teriak, "skak!"

Tak perlu wasit di sini. Tak ada kecurangan. Bukankah
begitu hakikat pertandingan? Hidup mati pertaruhan?
Bukankah kekalahan (dan kemenangan) disepakati sejak
semula? Ditentukan oleh salah, selangkah-selangkah?




Read More...

Februari (chapter_7 : Sunyi)




Nasib adalah kesunyian masing-masing.
Kupilih kau dari yg banyak, tapi sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring -Chairil_1946

Pagi itu entah kenapa saya tiba-tiba getol pengen jalan-jalan menyusuri taman. Siapa tahu nemu kebahagiaan walau secuil di tepi jalan.

Dari gesekan rumpun-rumpun yg menderai memecah bisu, senyum adik-adik kecil yg berbagi keriangan, atau dari sinar pagi yg mengunduh kehangatan.

Namun semuanya hanya berlalu sekejap, sebelum kesunyian kembali menyergap perasaan saya. Wanita sudah kembali merasuki alam pikiran.

Menjalari di setiap sela organ tubuh ini. Hingga yg teringat hanya wanita.

Apapun tentangnya selalu menjadi menarik untuk dijelaskan dengan bahasa hati.

Baru sadar ternyata hati tak lagi semerdeka dulu...pasrah terjajah oleh harapan sendiri.

huffhh...kadang saya lelah untuk memikirkan semua ini. Memecahkan permasalahan sendiri ternyata lebih sulit.

Kerisauannya yg disampaikannya selama ini hanyalah perantara untuk mentransfer kesunyian dalam hidup saya.

Saya bimbang dan kembali berusaha menimbang-nimbang rencana pertemuan itu. Tak sabar atau memang tak sanggup ya?

Hadir saat hatinya risau sungguh tak dapat dibenarkan. Walaupun saya sering tak keberatan jadi tong sampah tempat menampung uneg-unegnya. Karena begitulah Wanita, limit air mata mereka lebih banyak dari kaum pria. Tak pernah cukup untuk disimpannya sendiri.

Empati saya tak seharusnya menimbulkan potensi untuknya berpindah ke hati lain.

Dan benar...terkadang kita tak pernah tahu, apa yg bakal menghadang di belokan sana... (to be continued)

oleh : dhe

Read More...

Februari (chapter_6 : Sempurna)




Bersandar pada tari warna pelangi,
Kau depanku bertudung sutra senja, Di hitam matamu kembang mawar dan melati, Harum rambutmu mengalun bergelut senda --Chairil Anwar_(Sajak Putih_1944)

oleh : dhe


Wanita tersenyum...

"Memang apa sih kebahagiaan yg menurutmu ada padaku" saya pun akhirnya terpancing untuk bertanya

"Suaramu seksi mirip Beby Romeo !" terdengar gelakan tawa pecah di seberang sana.

Pria ikut tergelak "Widdih sleketep...becandanya jelekk..hehe...eh Ta ! kesempurnaan itu jangan dicari. Karena tak ada Pria yg sempurna, di mana pun di muka bumi ini. Termasuk aku dan dia"


"tapi kamu punyai apa yg aku cari" Wanita langsung membalas

"halah...ngeyel, hehe. Mungkin sekaranglah saatnya kamu belajar menerima dgn apa yg sudah ada padamu, bukannya malah mencari ketiadaan. Karena dunia tak selamanya mempersembahkan apa yg kamu inginkan. Akan tetapi kita yg harus banyak memberi dan selalu berusaha mencari kebahagiaan itu hingga benar-benar terwujud bukan ?"

"kadang aku merasa terkekang dengan keterbatasan yg diberikannya"

"ah itu menurutmu. Menurutku ia terlalu sayang padamu, hingga ia selalu berusaha membuatmu aman, bahkan untuk membiarkanmu terluka walau segores saja. Ia teramat takut kehilanganmu Ta ! Itu wajar bagi semua Pria !"


"ia aku mengerti apa maksud mu, tapi dia terlalu jahat. Aku seperti merpati yg hanya mampu terbang di dalam sangkarnya. Itu bukan cinta namun mengekang. Bukankah kata mu cinta adalah kebebasan?"


"eh, kebebasan juga tak selamanya baik lo? Cari celah positifnya aja. Dia sayang titik."


"percuma aku cerita gini...ngga ngasih solusi sedikit pun"
Wanita manyun

"elloh...hehe. Kata siapa? Aku bilang begini karena aku peduli lo sama merpati,"

"terserah ..."


"marah nih"


"tau ah !"


"kata dia kalau kamu lagi marah mirip banget sama Dian. Tapi jujur aku nggak yakin, hehe"


"weeekk...Dian dari Hongkong,hahaha !"


"nah gitu dong ketawa, kan enak dibacanya, hehehe"


":p weekkk... Aku rasanya pengen deh ketemuan lagi dgn mu Pria...di tepi sungai bersisi rindu. Sambil dihibur symponi desau ranting cemara. Duduk bertiti di muara pelabuhan angin tempat perkawinan air laut dan air sungai. Yang menyatakan perbedaan tak menjadi perkara bagi keniscayaan."


Tak terasa ombak itu akhirnya pecah jua menempur batin ku yg sedari tadi bertahan dari gempurannya. Tapi hingga kapan aku mampu bertahan?

"Di senja yg marun kan!?" saya balik bertanya.

"Ya...ku harap kau besok datang tepat setengah lima. Saat dimana jingga bertahta. Oh iya satu lagi, gerobak es cendolnya jangan lupa dibawa ya ! Kan romantis tuh, jualan sambil menikmati sajian senja. Dapat dua keuntungan sekaligus. Dapat fulus dan dapat cinta, hehehe"

"hahaha..."
Pria tergelak.


***

Namun, apakah pertemuan mereka kali ini akan kembali menautkan perbedaan hati mereka yg sudah terlampau jauh. Layaknya persatuan air asin dan air tawar? Entah lah? ...to be continued

Read More...

Februari (chapter_5 : Gerimis)




Sejarah adalah seni yg berharga, hanya bisa dinikmati dan tak dapat diapa-apakan--


Sejak saat itu Pria selalu bimbang, Wanita sering kali berkunjung dalam penantiannya...

Entah kenapa ko' malah saya yg selalu mengharap kehadirannya.

SMS wangi yg bejibun atau ringtone akustik full house yg mendesir-desirkan hasrat yg membuat jantung saya serasa retak itu.

Kesimpulannya saya sudah terjebak dalam pesonanya. Layaknya pagi yg rindu kepengen dihangatkan mentarinya lagi, hehhe...

Bagi saya dalam dirinya komplit-plit apa yg dibutuhkan semua Pria.

Darinya saya mendapatkan sebuah perhatian, pengertian, penerimaan, penghargaan, dorongan, semangat atau penguatan yg belum pernah saya dapati sebelumnya, dan hal ini pula yg menjadikan saya serasa utuh bahkan disempurnakan sebagai seorang Pria.

Terkadang saya suka tersenyum sendirian, entah apa yg ia dapati dari saya...hehehe mungkin tak ada...

Hingga akhirnya saya pun rela untuk selalu menunggunya ditiap senja bergerimis... hanya untuk nada ringtone yg sengak itu.

Pernah suatu hari di siang yg dingin menusuk, saat hujan bermendung. Wanita mengungkapkan penghargaan atau entah kerinduannya terhadap Pria?

Dan pastinya selalu dengan kalimat penuh kerisauan... yang mampu menitikkan gerimis di musim kemarau batin saya.

"Seandainya dia dapat sepertimu pasti aku kan bahagia" suara ngelayut Wanita terdengar dari seberang sana.

Tubuh Pria oleng tiba-tiba, "walahh ngawur sampeyan hehe...eh, hati-hati dengan pujiannya ya ! terakhir kali aku ge'er makan orang lo !"

ia pun tergelak dari seberang sana...


To be continued

Read More...

Februari (chapter_4 : SMS)




Hanya malam yg mengerti tentang kesunyian... bukan wanita namanya jika tak memberi kerisauan--


Mentari sudah naik segalah. Selepas bekerja keras sebagai kuli di sebuah instansi. Belum kering cucuran peluh di tubuhku. Berniat hendak beranjak mandi. Tiba-tiba telepon selulerku memekik bunyi. Siemens A70 berlatar dasar jingga dengan layarnya yg buram menampilkan pesan singkat tanpa identitas, kecuali beberapa digit nomor yg tak dikenal.

Jantung ku pun mulai memainkan irama bersicepatnya. Nomor siapa? Kawan lama? Atau kah nomor kunjungan para sindikat pemerasan bermodus pesan singkat? Entah?

Atau mungkin juga seorang teman lama yg memendam rindu? hehhe kali?



+628524843XXXX
"HAI... PRIA???"


+628524946XXXX
"YA BENAR, DGN SYP?"


+628524843XXXX
"MASA LUPA? WANITA... MF AQ GNGGU YA ?"


+628524946XXXX
"OH TIDAK... TDK SAMA SKALI, ADA APA, KOK TIBA2 HEHE ?"


+628524843XXXX
"^_^ BOLHKH QT BICARA SESAAT?"


+628524946XXXX
"OH TENTU, KALAUPUN ITU KPRLUANMU,"


+628524843XXXX
"EMM..MAUKH KAU MNDGAR CERITAKU...?"


+628524946XXXX
"TENTU SAJA, DGN SNANG HATI JIKA KAU MAU BERBAGI,"


Yaa... Kala itu wanita cerita panjang lebar. Dari mulai kerisauannya, kebahagiaannya, atau hal remeh temeh lainnya. Mirip cerita roman-roman dalam lakon pewayangan... halahh.

Dan saat itu pula Pria hanya jadi pendengar manis, yang ikut larut terseret dalam arus kerisauan seorang wanita...

to be continued

Read More...

Februari (chapter_3 : Masa Lampau)





Apa yg dilakukan wanita ketika menangis? --


Ada apa dengan dia? Sedang apa dengan wanita? Kenapa tiba-tiba dia hadir kembali ke dalam alur hidupku yg keras. Ge'er atau pangling kali ya tepatnya, hehhe.

Kenangan terkadang menjadi alasan kuat untuk memutar tayangan ulangnya kembali, walau dengan cerita yg tak sama persis.

Menghadirkan seseorang yang telah lama hilang sama halnya mengingat kembali masa-masa lampau.

Sepotong kenangan pahit, atau selembar harapan usang. Menggali kuburan yg sudah lama terpendam adalah hal yg tak benar. Bahkan untuk sebuah memoar manis. Masa lalu ibarat batu cadas yg tak dapat diapa-apakan.

Di siang yg lengas, tiba-tiba telpon seluler siemens A70 ku berdering, walaupun tipe lama namun tetap perkasa. Ada pesan baru tiba... Dari siapa ? Apakah...?????


to be continued

Read More...

Februari (chapter_2 : Pelabuhan Terakhir)




"Ngelamun ya?? Hihi"
sekarang aroma farfum lavender dari tubuh wanita nyerengsek lubang penciuman pria. Nda nahan !


"cinta, februari, valentin apalah itu namanya? Semua hanyalah sebatas simbol penjajahan. Cinta bukan dari apa yg kamu kata, namun apa yg kamu rasa. Hati adalah penambatnya dan jiwa adalah layarnya. Cinta hanyalah ungkapan. Hati yg merasakan kegelisahannya" pria membuka wacana.

"trus ?" wanita bertanya sambil merapatkan kerah bajunya karena udara malam yg dingin sudah menjalari seluk lehernya.

"aku heran, betapa mudah orang berkata cinta ... Namun lihat pula betapa mudah ia nanti akan mencerca cinta ketika jiwanya nelangsa"

"trus ?" wanita semakin tertarik mendengar cerita pria.

"remaja tak lebih seperti perahu yg baru membentangkan layarnya. Bila tanpa tujuan jelas, maka akan mudah diombang-ambingkan lautan dan tersesat di tengah samudera yg maha luas"

"trus ?"

"trus melulu ? Ya udah sampe situ, titik"
kata pria tersenyum.

"trus, perahu layarmu tertambat di mana sekarang ?" wanita tersenyum, dari matanya nampak purnama

"ku harap suatu hari nanti pelabuhan terakhir ku adalah kamu ..."

(to be continued)

Read More...

Februari (chapter_1 : Purnama)




Malam yang lengang ...

Gerimis sering berkunjung akhir-akhir ini. Mungkin sedang melepas kangen dengan bumi.

Suasana yang tepat untuk segera bertemu kasur, hihi ...

Namun tidak dengan malam ini. Februari dan hujannya selalu membuat dia teringat seseorang.

Wanita ...

Di sebuah malam yang ngeriap senandung sunyi menghadirkan lagi dialog singkat yg sudah lama tertimbun masa lalu.

"Pria ... benarkah, ku dengar dari orang-orang pojo'an sana, Februari adalah bulannya cinta?" samar-samar terdengar swara melodis wanita yang digiring angin meraba halus gendang telinga pria.

Pria pun kemudian memandang wajah wanita bermata jeli, yang kata orang-orang berwajah manis mungil itu.

Namun hanya sesaat ia menangkap bayangan wanita, sebelum matanya kembali tertuju pada satu sosok. Purnama ... baginya ia lebih menarik dari mata luna wanita. Cahya teduhnya selalu membuatnya lena, ia sering menghabiskan waktunya hanya demi menatap purnama. Ya hanya menatap dan tentunya berharap. Karena baginya purnama hanya harapan terpendamnya. Disaat langit bersih tak bermendung, dikala hujan tak merenggut malamnya. Ia tak akan enggan menemui purnamanya. Seperti sekarang ini. Malam ini ditemani wanita.

"heyy ... Lagi ngelamun yaa?? Hehe" wanita mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah pria.


Read More...

Saturday, February 27, 2010

Doa Seorang Penggemar Bola

KARENA, Engkau yang mengatur takdir semesta Bola
maka, izinkan kami memainkan sebuah bola kami saja

Karena, Engkau menciptakan tak terhingga makhluk Bola,
maka, ajarii kami memahami sebuah bola kami saja

Karena, Engkau mengobarkan api di mata-mata Bolamu,
maka, biar kami sebentar saja menyalakan bolamata sendiri

Karena, kami cuma bola ditendang nasib dari kaki ke kaki dan
Engkau adalah Mahapenguasa Klub Semesta Bola, maka
giring dan masukkanlah kami ke Gawang yang Engkau biarkan
saja terbuka sejak lama, terbuka selapang-lapangnya.



Read More...

Friday, February 26, 2010

Sajak yang Sia-sia

AKU nelayan pemalas. Menebar jala koyak.

Tak ada yang terperangkap, aku salahkan
angin buta, yang membuat laut berombak.

Aku nelayan pendusta. Membual tentang
badai yang aku taklukkan, padahal semalam
laut sangat tenang, langit sangat terang.


Read More...

Sajak yang Mentah

SEPERTI batang tebu bergetah, berkulit keras tak terkupas, berbuku seribu, berbatang miang, tak terkunyah apa yang di mulut, tak tertelan dan tak tersepah.

Seperti mamalia malam yang buta, yang tak mampu mengendus aroma buah, yang menabraki segala gelap, yang ingin mengepaki langit dengan sayap tak lengkap.



Read More...

Sajak yang Dangkal

AKU cuma penggali sumur, di mata, tak pandai memaknai umur, di wajah yang kelak tergusur.

Aku cuma singgah mandi, menumpang menghapus daki, membasuh kaki, di sumur yang kugali tadi.

Aku mencuci muka, tempungas, membasuh najis air mata. Ah, menangis pun aku cuma pura-pura.

Aku cuma penggali sumur, seperti sajak yang dangkal, tak sampai ke makna air mata, ke sumber akal.




Read More...

SAJAK YANG MATI

KAMI, jemaah kata-kata
yang tak pernah berdoa

Terjebak dalam saf-saf ganjil,
resah
menunggu takbir terakhir
sembahyang jenazah


Read More...

Wednesday, February 24, 2010

Arti Hadir mu

Ku tak mengerti tentang perasaanku
Setiap ku melihat mu
Hatiku begitu damai
Rasa tak ingin kulewati
Walau sedikit pun
Apakah rasa ini akan selalu ada
Tetapi aku takut
Jika perasaan ku tak terbalas
Mungkinkah perasaan ku
Akan di balas dengan senyuman
Akupun tak tahu
Mungkin hanya waktu yang bisa menjawabnya

Read More...

Arti Hadir mu

Ku tak mengerti tentang perasaanku
Setiap ku melihat mu
Hatiku begitu damai
Rasa tak ingin kulewati
Walau sedikit pun
Apakah rasa ini akan selalu ada
Tetapi aku takut
Jika perasaan ku tak terbalas
Mungkinkah perasaan ku
Akan di balas dengan senyuman
Akupun tak tahu
Mungkin hanya waktu yang bisa menjawabnya

Read More...

Tuesday, February 23, 2010

I Do Not Love You Except Because I Love You

I do not love you except because I love you;
I go from loving to not loving you,
From waiting to not waiting for you
My heart moves from cold to fire.

I love you only because it's you the one I love;
I hate you deeply, and hating you
Bend to you, and the measure of my changing love for you
Is that I do not see you but love you blindly.

Maybe January light will consume
My heart with its cruel
Ray, stealing my key to true calm.

In this part of the story I am the one who
Dies, the only one, and I will die of love because I love you,
Because I love you, Love, in fire and blood.




Pablo Neruda


Read More...

I Do Not Love You Except Because I Love You

I do not love you except because I love you;
I go from loving to not loving you,
From waiting to not waiting for you
My heart moves from cold to fire.

I love you only because it's you the one I love;
I hate you deeply, and hating you
Bend to you, and the measure of my changing love for you
Is that I do not see you but love you blindly.

Maybe January light will consume
My heart with its cruel
Ray, stealing my key to true calm.

In this part of the story I am the one who
Dies, the only one, and I will die of love because I love you,
Because I love you, Love, in fire and blood.




Pablo Neruda


Read More...

Lulur Biji Pelangi

Terlelap dalam timangan sang mimpi
Merenggut rasa letih tubuh
Secangkir kenikmatan menghangatkan hati
Yang terguyur oleh tamparan hujan airmata

Sepenggal kalimat manis
Yang kau petik diranting bunga persik
Kau sajikan diatas meja dengan rangkain doa
Senyuman tarian hujan menyapa dibalik jendela
Menyematkan buliran kata terima kasih untuk wanita
Yang berbaring memelukku
Ketika tubuhku menggigil penuh khawatir
Mengusap kepalaku untuk menepis getir
Kau luluri tubuhku dengan biji pelangi
Yang kau saring dengan rajutan kain dipundakmu
Saripatinya masih jelas terkecap dilidahku

Terima kasih sayangku
Ramuanmu, lebih manjur dari mahalnya resep
Yang kau tebus dari apotik-apotik terdekat


Read More...

Lulur Biji Pelangi

Terlelap dalam timangan sang mimpi
Merenggut rasa letih tubuh
Secangkir kenikmatan menghangatkan hati
Yang terguyur oleh tamparan hujan airmata

Sepenggal kalimat manis
Yang kau petik diranting bunga persik
Kau sajikan diatas meja dengan rangkain doa
Senyuman tarian hujan menyapa dibalik jendela
Menyematkan buliran kata terima kasih untuk wanita
Yang berbaring memelukku
Ketika tubuhku menggigil penuh khawatir
Mengusap kepalaku untuk menepis getir
Kau luluri tubuhku dengan biji pelangi
Yang kau saring dengan rajutan kain dipundakmu
Saripatinya masih jelas terkecap dilidahku

Terima kasih sayangku
Ramuanmu, lebih manjur dari mahalnya resep
Yang kau tebus dari apotik-apotik terdekat


Read More...

Why I Listen To You

You have a soul
You speak from the soul
You care about me
You trust me
You uplift my spirits
you are not keen on hurting me
you are not a brag
You are neutral when it comes to guidelines
your are smart
Need I say beautiful from the intra to the extra?
You are a blessing
You are miracle
You are an answer to a prayer I never made
You are one person I take very seriously in my life
You are the right person, with the right motive at the right moment to the wrong unworthy person (me)
You are a reason that houses a zillion reasons as to why perfection is perfection

David Munene wa Kimberly


Read More...

Why I Listen To You

You have a soul
You speak from the soul
You care about me
You trust me
You uplift my spirits
you are not keen on hurting me
you are not a brag
You are neutral when it comes to guidelines
your are smart
Need I say beautiful from the intra to the extra?
You are a blessing
You are miracle
You are an answer to a prayer I never made
You are one person I take very seriously in my life
You are the right person, with the right motive at the right moment to the wrong unworthy person (me)
You are a reason that houses a zillion reasons as to why perfection is perfection

David Munene wa Kimberly


Read More...

Friday, February 19, 2010

Sajak yang Jelek

YANG bicara tentang sia-sia, angin yang memetik daun kering itu, lalu perlahan meletakkannya di atas rumput yang sembunyi di tanah kemarau.

(Seharusnya, aku bicara tentang badai mata beliung, datang meminta nyawa orang-orang tak berdaya, pada suatu ketika yang tak terduga, musim yang buta).

*

Yang bicara tentang aduh pedih, jatuh sedih, sia-sia cinta dengan tamsil ganjil awang awan, dan tombak ombak.

(Seharusnya, aku bicara soal petani dan nelayan, yang tak bisa beli pupuk dan solar. Yang mencangkul sawah seperti menggali kubur sendiri, yang menebar jala seperti menjerat nasib buruk sendiri).

*

Yang sibuk mengatur bunyi, asyik memilih diksi, yang tak ingat cuma jadi alat, diperalat oleh penyair galat.

(Seharusnya aku menyuarakan jerit lapar orang miskin, keluh sakit buruh kasar yang menunggu mati, bukan di ranjang perawatan, sebab rumah sakit terlalu mewah, dan para dokter adalah malaikat suci yang haram menyentuh tubuh kotor mereka yang berumah di debu jalanan).





Read More...

LELUCON MENJELANG KEMATIAN

Puisi Agus Noor

1/
Aku ingin mendengar leluconmu, sebelum mati. Engkau pun bercerita perihal kerbau.
Syahdan, seekor kerbau muncul di depan istana. Para penjaga heboh, dan langsung melapor pada Presiden. “Apa yang harus kami lakukan?” tanya penjaga.
“Biarkan saja,” jawab Presiden. “Saya ingin tahu, apakah kalau saya biarkan, kerbau itu berdampak sistemik atau tidak…”




2/
Maut, yang berdiri di sisi ranjang pun tertawa. Bahkan, menjelang mati pun kamu masih lucu. Lalu perlahan disentuhnya ruhmu.
“Bukan kematian benar menusuk kalbu,” katamu, sembari mengutip bait puisi, “Tapi, kalau boleh menawar, saya tak ingin mati hari ini. Sekarang 25 Desember, bukan? Bulan yang ranum dan bahagia. Biarkan mereka merayakan kelahiran Yesus, jangan sampai terganggu kematian saya…”
Maut terasa fana. Dalam mati pun, ada yang terasa lebih berharga.

3/
Seperti dalam puisi, gerimis pun mempercepat kelam. Langit penuh kesedihan. “Sebelum mati, ijinkan saya berpesan,” katamu. “Jangan Kau biarkan orang-orang saling dorong atau berdesakan saat pemakaman. Apalagi sampai ada yang mati terinjak atau pingsan.”
Kenapa, kata-Ku.
“Karna nanti malah dikira orang antri rebutan sumbangan…”

4/
Ingin kutulis puisi, sesuatu yang kelak retak tetapi kuharap abadi, setelah kau mati. Kata-kata yang tak pudar di keramik waktu.
“Biarkan saya mati dengan tenang, tak perlu repot memikirkan puisi. Ada baiknya saya jujur: sebenarnya saya nggak terlalu suka puisi. Penyair itu lebih parah dari sopir bajaj. Kalau bajaj mau belok, yang tahu hanya Tuhan dan sopir bajaj. Tapi kalau penyair nulis puisi, bahkan Tuhan dan penyairnya sendiri tak tahu apa yang ditulisnya itu.”
Tapi aku ingin menulis puisi. Meski mungkin tak akan pernah menjadi abadi. Lihatlah, di matamu yang perlahan terkatup, seperti ada perih puisi. Selalu ada yang jauh lebih tak terduga dari puisi, melebihi mati.

5/
Seperti ada yang pelahan-lahan sampai. Seperti ada yang tugur di sisimu.
“Tuan Tuhan, bukan?”
Tunggu sebentar. Gus Dur lagi tidur

2010

Read More...

Jokdur, Guspin

PADA mulanya adalah sebuah undangan dari sastrawan Triyanto Triwikromo untuk menulis sajak. Kelak sajak-sajak itu dibukukan. Buku itu diterbitkan dalam rangka mengingat kematian K.H. Abdurrahman Wahid, tepat di hari keseratus kematiannya.

Buku itu kelak akan sangat menarik. Kita bisa belajar bagaimana penyair memberdayakan bakatnya, penghayatannya atas bahan yang hendak disajakkan, dan kemahirannya menyair. Buku ini kelak juga menunjukkan bahwa pada dasarnya menyair adalah cara mengucap.

Sajak-sajak dalam buku itu akan bicara tentang hal yang sama yaitu: Gus Dur. Nah, yang membedakan adalah cara mengucapkannya. Ini buku pasti tidak hendak membanding-bandingkan penyair satu dengan penyair lain, tapi, ketika sejumlah sajak dikumpulkan, tidak ada yang bisa melarang kita untuk belajar dari padanya, dengan membanding-bandingkannya, bukan?





Pasti tidak semua penyair yang diundang menulis akan menanggapi undangan itu. Mungkin saja ada yang menulis tapi tidak mengirimkan sajaknya. Sejauh ini, sepemantauan saya, yang sudah menulis adalah saya, Agus Noor (prosais yang tiba-tiba menulis puisi - selamat datang, Mas!), dan Joko Pinurbo.

Inilah, pada yang berikut ini, sajak Jokpin yang hendak saya bahas sedikit. Saya sudah minta izin padanya untuk menampilkan sajak yang ia tampilkan di blognya www.jokopinurbo.com:


Durrahman

Mengenakan kemeja dan celana pendek putih,
Durrahman berdiri sendirian di beranda istana.
Dua ekor burung gereja hinggap di atas bahunya,
bercericit dan menari riang.
Senja melangkah tegap, memberinya salam hormat,
kemudian berderap ke dalam matanya yang hangat dan terang.

Di depan mikrofon Durrahman mengucapkan pidato singkatnya:
“Hai umatku tercinta, dalam diriku ada seorang presiden
yang telah kuperintahkan untuk turun tahta
sebab tubuhku terlalu lapang baginya.
Hal-hal yang menyangkut pemberhentiannya
akan kuselesaikan sekarang juga.”

Dua ekor burung gereja menjerit nyaring di atas bahunya.
Durrahman berjalan mundur ke dalam istana.
Dikecupnya telapak tangannya, lalu dilambai-lambaikannya
ke arah ribuan orang yang mengelu-elukannya dari seberang.

Selamat jalan, Gus. Selamat jalan, Dur.
Dalam dirimu ada seorang pujangga yang tak pernah binasa.
Hatimu suaka bagi segala umat yang ingin membangun kembali
puing-puing cinta, ibukota bagi kaum yang teraniaya.
Ketika kami semua ingin jadi presiden,
baju presidenmu sudah lebih dulu kautanggalkan.

(2010)


Bagaimana membaca dan menghargai sajak ini? Tunggu.....(bersambung)

Read More...

Thursday, February 18, 2010

Sajak yang Cengeng

"TULISKANLAH aku," kata sebuah sajak yang cengeng
kepadanya, dia yang tak tahu kenapa disebut penyair.

"Kemarilah," katanya, pada sajak itu. Ia memasuki
kata-kata di sajak itu ke dalam hatinya. Ia mencoba
mengucap kalimat-kalimat sajak itu setakzim-takzimnya.

Ia tak mencoba menangis, tapi ada yang mengalir entah
dari bagian mana di sajak itu, terjun deras ke matanya.

*

"Tuliskanlah aku," kata sebuah sajak yang cengeng
kepadanya, dia yang tak tahu kenapa yang selama ini ia
tulis - sebagai tafsir atas tangis - itu disebut sajak.

Ia, sebenarnya telah lama berada dalam sajak cengeng itu,
ia, di bait-bait itu, terbiasa menertawakan kesedihan,
menangisi kegembiraan, dan menyembunyikan kecengengan.

"Tawa itu, sebenarnya, adalah tangis yang disamarkan,"
ia mengutip sebuah ayat yang tak sempat diwahyukan.




Read More...

Sejumlah cerita Kecil untuk Mas Andy (3)

6. Piano yang Terbang


"AKU ingin terbang bersamamu," kata Pianis kecil itu kepada piano. "Bunyikanlah aku. Nyanyikanlah lagumu pada sunyiku," kata piano itu.

Pianis kecil itu lalu menarikan jemarinya, menarikan hatinya, menarikan pikirannya, menarikan gairahnya, menarikan kehidupannya pada piano itu.

Dia tidak tahu, pada saat itu ada sayap tumbuh, mengepak pada piano itu dan mereka - pianis dan piano itu - terbang ke langit, sunyi dan tinggi.


Read More...

Tuesday, February 16, 2010

Sejumlah Cerita Kecil untuK Mas Andy (2)

4. Jemari Kecil dan Piano Tua

SETELAH menemui bunyi di mana-mana, menemui piano di banyak negara, Pianis itu pulang.

Ia menemui piano tua, piano yang dulu mengajari dan memperkenalkan berbagai bunyi pertama kali kepadanya.

"Aku membawakan bunyi untukmu," katanya pada piano tua itu, "maukah kau, aku perdengarkan bunyi-bunyi itu padamu?"

Piano itu mengangguk, lalu dengan gairah seperti saat dulu ia pertama kali membunyikan sunyi di piano itu, dia mainkan sejumlah komposisi bunyi dari hatinya.

Piano tua itu menangis. "Kenapa kau menangis?" tanya pianis itu.

"Aku rindu pada jemari kecil yan dulu memainkan aku," kata piano tua itu.

Air mata piano tua itu tiba-tiba seperti mengalir ke mata pianis itu. Air mata yang sunyi. Sangat sunyi.



5. Pianis Kecil Ingin Tidur


PIANIS kecil itu ingin tidur. Ia minta temannya mengantarkannya.

"Tidurkanlah aku," katanya kepada temannya, Si Bunyi namanya.

Si Bunyi menyenandungkan diri, melirihkan diri, memerdukan diri.

Pianis kecil itu perlahan terlelap.

"Dia sudah tidur. Sekarang giliran engkau menjaga tidurnya," kata Si Bunyi kepada temannya, Si Sunyi.



Read More...

Kondisi Perpuisian Seperti Apa yang Saya Bayangkan Ada di Negeri Ini? (3)

3. Para Pemulia Bahasa

PARA penyair, saya bayangkan, adalah para pemulia bahasa. Mereka bekerja persis seperti para pemulia tanaman.

Para pemulia tanaman menyilang tanaman, menghasilkan varietas tanaman baru yang unggul. Padi yang lebih banyak hasil panennya, kelapa yang lebih cepat berbuah, tanaman hias yang berwarna lebih cemerlang, semangka yang lebih manis, pepaya yang lebih bergizi, tebu yang lebih tinggi kadar gulanya.



Untuk apa semua itu ditemukan? Untuk dibudidayakan para petani lain yang bukan pemulia tanaman. Lalu hasilnya dinikmati oleh khalayak luas. Itulah kebahagiaan seorang pemulia tanaman.

Pemulia tanaman adalah Petani yang tidak terperangkap pada rutitinas. Dia betah di petak-petak penelitiannya, bukan berteriak-teriak di pasar buah dan sayur.

Dia amat mengenal sifat dan potensi lahannya. Dia sangat tahu karakter tanaman yang dia budidayakan, mahfum bagaimana tanaman itu bereproduksi, dan ia adalah peneliti yang tekun dan sabar. Tidak setiap eksperimen penyilangan langsung berhasil mendapatkan tanaman unggul. Tapi, dia tidak pernah berhenti, sebab dia tahu, ia pasti bisa menghasilkan sejenis varian unggul.

Read More...

Kondisi Perpuisian Seperti Apa yang Saya Bayangkan Ada di Negeri Ini (2)

2. Penjelajahan yang Berani

PARA penyair di negeri ini adalah orang-orang yang berani dan menyadari betapa besar dan betapa berharga bakatnya.

Tak ada tempat untuk para pemalas, para penggaduh, para perecok, para penakut, dan para penumpang gelap ikut lewat.



Dengan bakat itu, mereka masuk sebagai penjelajah yang kuat, pendaki yang tak pernah gentar, penyelam yang tangguh.

Sejarah dan jejak pencapaian para pendahulu adalah tonggak-tonggak penting bagi penjelajahan mereka. Mereka tak dibebani oleh para pendahulu itu. Mereka juga tidak mengingkarinya. Puisi Indonesia telah diperkaya oleh para penyair tangguh dan akan terus melahirkan penyair dengan pencapaian-pencapaian baru.

Itu hanya mungkin dicapai jika para penyair menyadari bahwa ranah penjelajahan seni puisi adalah hutan lebat dn luas. Siapa saja dengan bakat dan minat kuat serta gairah mencari yang bergelora berhak membuka hutan itu, menetapkan batas kavling pengucapan sendiri seluas-seluas, sekuat mereka mampu mengelola tanggung jawab atas kepenyairannya tersebut.(bersambung)

Read More...

Sunday, February 14, 2010

Kondisi Perpuisian Seperti Apa yang Saya Bayangkan ada di Negeri Ini? (1)

1. Penyairnya Sejahtera

TIDAK hanya penyairnya, tapi siapa saja di negeri ini harus punya hak dan kesempatan yang sama untuk menyejahterakan diri. Ekonomi harus tumbuh baik. Industri berjalan produktif dan menghasilkan produk-produk bermutu unggul.


Jika penyair sejahtera - seperti warga negara lainnya - maka ketika karya sajaknya dimuat di surat kabar, ketika dia menerbitkan karya terbaiknya dan laris, atau ketika dia meraih penghargaan atas mutu karyanya dalam sebuah kompetisi yang berwibawa, maka dia tidak dicurigai oleh sejawatnya sedang mengakumulasi modal untuk kepentingan di luar puisi. Dia tidak dipandang sedang menaiki piramida sosial dengan materi yang ia dapat karena kualitas karyanya itu.

Kalau ada penyair yang dalam keadaan serba mungkin itu kemudian ia memilih membatasi kepemilikan atas uang, benda-benda, dan wujud materi apapun, maka ia tidak dipandang dengan sinis sebagai penyair kere. Kekereannya adalah jalan hidup yang sengaja ia pilih. Dan status sosialnya tidak akan jatuh karena pilihannya itu.

Penyair juga tidak dipandang aneh ketika dia dengan prestasi karirnya di luar puisi berhasil menyejahterakan diri. Dia tidak dilihat aneh kalau dia menikmati manfaat atas kendaraan model terbaru yang mungkin ia raih.

Penyair benar-benar dinilai, dihargai, diapresiasi, berdasarkan atas mutu karyanya. (bersambung)

Read More...

Penyair dan Kebenaran

:: Untuk Faisal Kamandobat

Catatan: Faisal menulis artikel pendek "Penyair dan Kekuasaan". Pasti, itu tidak ditujukan pada saya secara khusus. Jadi ini bukan apologi, bukan klarifikasi. Ada beberapa bagian dari tulisan Faisal yang membuat saya tertarik untuk menulis artikel berikut ini. Ini sebuah niat yang sehat saja dari saya: ajakan bertukar pikiran.



Menulis puisi, dan mengirimnya ke media, menurut saya adalah dua hal yang terpisah. Ketika saya menulis puisi, saya menulis saja. Saya saat itu tidak memikirkan hendak mengirim ke mana. Saya tidak mencocok-cocokkannya dengan selera redaktur media itu. Apalagi saya sungguh tidak tahu persis seperti apa selera redakturnya.

Tidak semua puisi yang saya tulis saya kirim. Tidak setiap puisi yang saya kirim dimuat oleh media. Sampai saat ini, banyak puisi saya yang ditolak tanpa penjelasan. Ketika dimuat pun saya sama sekali tidak pernah mendapat penjelasan kenapa itu dimuat.

Setelah puisi saya dimuat beberapa kali di media massa, saya menjadi dikenal oleh terutama mereka yang suka membaca puisi di media. Apakah ini tujuan saya menulis puisi? Bukan. Apakah semua pembaca koran membaca puisi? Pasti tidak.

Saya lalu diundang ke berbagai perhelatan sastra. Apakah semua undangan itu saya penuhi? Tidak semua. Saya ingin sekali bisa hadir pada beberapa acara pertemuan penyair di negeri ini. Tapi, saya tidak bisa mencurahkan waktu saya untuk puisi saja. Dapat izin dari atasan itu susah. Saya harus bekerja. Saya juga wajib mengikuti perkembangan dua anak saya, dan membangun kehidupan dengan istri saya.

Itu saja. Apakah kemudian popularitas dan prestise saya itu bisa saya tukar dengan uang? Ketika puisi saya dimuat di koran saya dapat honor. Besarkah honornya? Tidak. Koran yang paling mahal pun tak sampai sejuta rupiah honornya. Jadi, saya tidak akan pernah kaya dari puisi dan popularitas saya sebagai penyair itu.

Apakah kemudian saya bisa mendapatkan kedudukan dalam institusi tertentu karena popularitas saya sebagai penyair? Mungkin. Saya oleh kawan-kawan seniman di Batam dipercaya menjadi Ketua Dewan Kesenian Batam. Tapi, di kabupaten lain, ada ketua Dewan Kesenian yang sama sekali bukan seniman. Jadi kesenimanan dan kepenyairan itu saya kira bukan jaminan untuk mendapatkan posisi di institusi itu.

Apakah saya sekarang menulis puisi sekadar untuk menjaga nama saya atau pesona "kebesaran" saya sebagai penyair? Tidak. Apakah popularitas saya dan posisi saya saya kerahkan untuk mempertahan gengsi saya sebagai seniman di hadapan para sastrawan pemula atau publik pembaca yang peduli namun angin-anginan terhadap sastra? Tidak. Buat apa.

Saya terus menulis puisi, memajangnya di blog saya, dengan niat, semangat, gairah yang sama saja dengan ketika dulu saya memulai mencintai puisi. Saya terus belajar. Saya terus mencari kemungkinan apa yang bisa saya capai bersama puisi. Dan itu mengasyikkan sekali.

*

Ada mobilitas sosial pada pribadi saya. Saya punya rencana-rencana pribadi. Saya punya rancangan-rancangan masa depan dan berusaha mewujudkannya langkah demi langkah. Saya kira setiap orang juga punya ini. Sementara itu saya terus menulis puisi. Saya tidak memandang rendah seniman yang mempertahankan hidup dalam kemiskinan demi penghayatan yang intens atas derita kehidupan dan tragedi kemanusiaan.

Sastra, puisi, hanyalah salah satu sarana yang bisa membuat seseorang diterima publik. Ada banyak cara lain. Bukan semata-mata itu niat saya menulis puisi. Ketika menulis puisi, saya total memasuki dunia itu. Saya membaca Gitanjali, The Gardener (Tagore), The Prophet (Gibran), Zaman Edan (Ronggiwarsito), Gurindam 12 (Raja Ali Haji) dan terpesona pada pencarian dan penemuan kebenaran yang mereka wujudkan dalam karya mereka itu. Saya ingin sampai pada tahap itu. Saya kira siapa saja yang menulis kapan saja, bisa menuju dan sampai ke sana. Ini bukan soal modern atau tidak. Ini soal intensitas penghayatan atas kehidupan.

Jika Faisal Kamandobat mengamati dan menyimpulkan bahwa sekarang penyair dengan sadar atau tidak sadar tidak lagi menulis puisi sebagai sarana untuk mencari kebenaran, menjadikan puisi sebagai tunggangan untuk mencapai hal-hal di luar puisi, membuat manusia dibunuh oleh bahasa yg ia ucapkan sendiri, dan dalam hal penyair, ditikam puisinya sendiri, maka, saya tidak mau dan tidak akan pernah ikut-ikutan merayakan itu.[]

Read More...

Friday, February 12, 2010

Sejumlah Kisah Kecil untuk Mas Andy (1)


1. Pianis Kecil dan Piano Kecil



SEORANG pianis kecil bertemu dengan piano kecil. "Maukah kau bermain denganku?" tanya piano kecil itu.

Mereka pun asyik bermain. Pianis kecil menggelitikkan jari-jari kecilnya di bilah-bilah kecil piano kecil itu. Berderailah tawa kecil si piano kecil.

Kadang-kadang mereka bernyanyi-nyanyi kecil, sesekali terdengar senandung kecil, tangis kecil, aduh kecil, jerit kecil.



"SENANG sekali bisa bermain denganmu. Tapi, kamu sudah letih, ya?" tanya piano kecil. Si pianis kecil mengiyakan. Mereka pun berpisah. Di jarak yang merentang di antara keduanya mengembang sunyi. Sunyi yang kecil.


2. Berapa Banyak Bunyi?


"BERAPA banyak bunyi yang kau simpan di bilah-bilah tubuhmu?" tanya pianis itu kepada piano.

"Tak ada. Aku tak punya bunyi. Aku hanya punya sunyi," jawab si piano.

Si pianis pun sejak itu tahu, selama masih ada sunyi, maka dia dan piano itu bisa menciptakan bunyi setakterhingga banyaknya.


3. Sunyi dan Bunyi

SUNYI ingin sekali tahu siapakah sebenarnya Bunyi itu.

Bunyi juga ingin sekali kenal apakah sesungguhnya sunyi itu.

Mereka pun bertemu di sebuah piano dan bertanya pada seorang pianis yang tampaknya sangat mencintai piano itu.

"Ketika sunyi berkata maka jadilah bunyi. Ketika bunyi berdiam diri, ia menjelma jadi sunyi," kata si pianis itu.

Piano pun dengan mahir menerjemahkan penjelasan itu.

"Oh, kami mengerti," kata Sunyi dan Bunyi, serempak, "bunyi adalah sunyi. Dan sunyi adalah bunyi." |hah|



Read More...

Wednesday, February 10, 2010

Seperti Ciuman

seperti ciuman
gerimis tak gampang
membuat dingin ruangan ini

ketika gelap membuat
gemetar sekujur tubuh
kita yang cuma
bayang-bayang

kau atau aku
yang membuat
segalanya. jadi
pertanyaan-pertanyaan.

sampai kehangatan
yang jatuh di tubuh
menjelma sebuah kamar
yang kemudian mengurung kita
menjadi usia dan perpisahan

demi, hawa ruangan
yang terbakar karena tak
dapat dipahami redup lampu

kuingin kecupan itu
bukan kecupan sekedar
yang menjadikan kita
paling dungu

sebab di sana
gugus langit kelam
dengan keluasan malam
adalah kesepian yang melebur
di antara bekuan diam
yang kuasa
atas sesuatu
penghabisan maha dalam.

(2010)

Read More...

Monday, February 8, 2010

Teks-teks untuk Foto Michael Maier (5)




Pelakon Kehabisan Peran

PANGGUNG ini: dunia sandiwara

Aku: pelakon kehabisan peran
Berpura-pura menjadi penonton

Kau: penonton enggan pulang,
menari pada ulur serangkai rantai
berpegang pada cahaya telanjang

*

Panggung ini: punggung bimbang

Sepi: bertepuk di bangku kosong
Langit-langit membikin semacam hujan
menaburkan warna rawan, kelam kalam

Remang: ragu mengatur bayang-bayang


*

Panggung ini: bangku tak panjang,
bimbang, ikut menahan hati gemetar


Seperti dalam makam, liang longgar,
tapi aku tak bisa beranjak keluar.

Ada yang berziarah menaburkan mawar:
harum itu, satu-satunya kabar.















Read More...

Sunday, February 7, 2010

formspring.me

Mana yang lebih kamu suka: afrizal atau Jokpin? Alasannya? he2.

pasti lebih dahulu kenal afrizal malna. dulu susah sekali menyukai sajaknya. Waktu kenal jokpin, langsung suka sajaknya. sekarang saya sama mengagumi dan menyukai keduanya...

Anda beli? Saya jual.......

Read More...

formspring.me

Indonesia punya berapa penyair bang? :D

gak tahu. gak pernah ada sensusnya...

Anda beli? Saya jual.......

Read More...

Thursday, February 4, 2010



:: Sweet Sadness - Michael Maier

Pertunjukan Pertanyaan

: Chendra Panatan


KENAPA langit seperti menahan nyeri, dan lampu
seakan menunggu kota hendak memadamkan diri?

Kenapa alun-alun ini disesaki sepi? Bahkan
jejak-jejak sembunyi menyeka bekas sendiri?

Kenapa gedung-gedung itu memejamkan jendela?
Dan pintu? Kenapa cahaya ragu mengetuk di sana?

Kenapa bulan rabun? Dan dua merpati itu sejak
kapan sanggup menanggung sejuk udara berembun?

Dan kita? Apakah sepasang penari meningkahi
sepi, atau badut sirkus kehidupan meniti tali?


Read More...

Teks-teks untuk Foto Michael Maier



:: The Little Pianist (2005), Michael Maier.

Sang Pianis Kecil

: Ananda Sukarlan

TUNGGU, sebentar dia sedang menentukan lagu,
apa yang ia mainkan di bilah-bilah piano itu.

Jangan kita ganggu. Jangan bikin ia jadi ragu.

Tunggu, aku elang yang tak tahu lagu, biar aku
bawakan dia puncak paling puncak, tempat dia
menemukan diri, membebaskan jari, melepaskan
hati, melagukan nyanyi, memperdengarkan yang
hilang dari bising suara-suara hariku-harimu.

Jangan kita tuntut. Jangan bikin ia jadi takut.

Tunggu, lihat, segalanya sempurna terbentang,
teluk setenang peluk, awan seramah halaman,
hutan sehijau usia rawan. Dan angin? Ia
berjanji akan menari, gerak yang lama ia
pelajari, ia simpan selama dalam sembunyi.

Suara dan waktu kanak. Ah, jangan kita rusak.


Read More...

Kupunya Biola

merengkuh ribuan debur lautan
biola itu terapung, teracung
menujumu sambil memainkan lagu
untuk menampik kepungan rindu

hanya kupu-kupu yang kupunya,
katanya, sebagai penunjuk arah
sebab ke mana pun angin membawa
hanya padamu saja ia berpulang

ia mengabarkan bahwa engkau akan
menunggu dengan gaun: memanjang
berkat penantian, seputih cinta
lautan yang menggapai-gapai langit

sambil coba mengalun ulang sebuah
serenade yang pernah biola mainkan
kepadamu


04 Februari 2010

Read More...

Wednesday, February 3, 2010



Google merayakan kelahiran Ilustrator-Pelukis Norman Rockwell (February 3, 1894 – November 8, 1978).




Read More...

Tuesday, February 2, 2010

Rindu yang ingin

aku melihat engkau di kejauhan malam
matamu hitam, rambutmu hitam tetapi
cintamu kian memutih bagaikan telur
tidak juga tetas dalam peraman kita

langit pun mengatup, satu demi satu
menyekap riuh resah kita yang rahasia
dan menerjemahkannya menjadi gerimis
pada suatu ketika kita kehabisan kata

rinduku hampir tetas sudah dan kalau
langit tenang dan rentangmu lapang
sayap-sayap angin ingin membawanya
kepadamu, lalu memeluk


03 Februari 2010

Read More...

Monday, February 1, 2010

Teks-teks untuk Foto Michael Maier



:: Serenade of Love (2007) - Michael Maier.

Serenade Waktu: Kepompong yang Mengupu-kupukan Engkau

ENGKAU yang taat dan percaya hanya pada Waktu: Kepompong yang mengupu-kupukan engkau.

Engkau yang bersangka baik pada Laut: Rahim yang menjaninkan gairah gelombang engkau.

Engkau yang takluk menunjuk pada Langit: Hati yang meluaskan dan menabahkan gelisah engkau.

Engkau yang hanya menemui Serenade Cinta melagu sendiri di pantai itu, tak sempat mendapati dia: Si Pemain Celo, dia yang pernah lama menunggu engkau.



Read More...

Teks-teks untuk Foto Michael Maier



:: Don't Let The Sun Go Down


Penyembah Malam

IA meliuk agar malam tak jadi malam
ia rayu senja agar menangkap matahari,
lalu menyekap di lanskap, kemurungan
yang nyaris lengkap: kepingan awan,
langit yang ragu pada warna, camar
yang rabun, dan membisu dari pekikan.

Ia sudah sangat malam. Ia telah lama
jadi penyembah malam. Ia berambut
malam. Ia bergaun malam. Ia bersepatu
malam. Ia memasang lampu di tubuhnya
yang malam. Ia sudah terlalu malam.
Ia letih, ia ingin tak lagi ada malam menginap
di matanya yang ingin sekali memejam.

"Engkaukah yang datang menjemputku
di balon udara itu?" ia bertanya, dan
mengacungkan cahaya, seperti mercu
menyuar pelayar yang ragu pada tuju.



Read More...