mencoba saja

Friday, August 7, 2009

Rendra 1935-2009: Si Penjaga Kehidupan


Oleh Hasan Aspahani

Aku mendengar suara
jerit hewan terluka
ada orang memanah rembulan
ada anak burung terjatuh dar sarangnya
orang-orang harus dibangunkan
kesaksian harus diberikan
agar kehidupan bisa terjaga


Penyair Binhad Nurrohmat di facebook-nya menulis: ... kematian Rendra hanyalah takdir yang bisa ditempuh oleh siapa saja. Tapi tugas kesenian Rendra, tulis Binhad, selama hidupnya hanya dialah yang bisa menjalaninya. Karya Rendra tak bisa pergi dan selalu bersama kita.

Saya kira Binhad benar. Ya, Rendra telah meninggal. Seorang penyair besar di negeri ini menyelesaikan tugas hidupnya. Hidup yang dengan gagah ia jalani, dan satu ajarannya yang tak lekang adalah bagaimana kita mengolah daya hidup!



Sudah lama ia dikabarkan sakit. Penyair Sitok Srengenge yang pernah lama menjadi anggota Bengkel Teater Rendra beberapa kali mengirim pesan singkat meminta doa agar Rendra diberi umur yang lebih panjang. Tapi, kita harus mendengar apa yang dikata takdir. Kamis (6/8), pukul 22.00 lebih, di RS Mitra Depok, ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Sebagai apa saya melihat Rendra? Dia adalah si penjaga kehidupan. Petikan sajak "Kesaksian", yang ia tulis pada usia 39 tahun, di atas, barangkali adalah penggalan sajaknya yang paling terkenal, dan paling mewakili sikap sebagian besar sajaknya.

Sajak-sajaknya adalah upaya untuk memberikan atau mencatat kesaksian atas hidup yang tidak adil, nasib orang-orang tertindas. "Kesaksian harus diberikan agar kehidupan bisa terjaga," katanya, dalam sajaknya itu.

Maka, suatu kali, dalam pidatonya saat menerima penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta, Rendra dengan tegas mengatakan bahwa dia mengganti jurus puitika ambiguitas dengan pisau kritik sosial. Dia pun tak ragu menulis sajak yang ia sebut pamflet. Untuk itu ia dihantam kritik kencang. Pamflet adalah pamflet, bukan puisi. Tapi, Rendra sudah menegaskan sikapnya. Dan itu tidak sia-sia.

Di mata Sutardji Calzoum Bachri, Rendra adalah penyair yang tulus. "Dia yakin dengan perjuangannya. Dia melawan ketidakadilan, sendirian. Dia masuk penjara, pementasannya dilarang, dia hadapi sendiri, itu ketulusannya sebagai penyair," kata Sutardji.

"Dan dia tidak mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama dengannya. Dia tidak menyalahkan penyair lain kalau tidak melakukan hal yang sama dengan dia," tambah Sutardji.

Tetapi, bukankah Tardji pernah mengkritik sajak pamflet Rendra. Ketika itu Sutardji bilang, ketika Rendra menulis pamflet, habislah perannya sebagai penyair. "Itu lain. Itu tidak menyerang pribadi. Secara pribadi kami baik. Waktu saya sakit, dia menjenguk saya," kata Tardji yang saya hubungi di malam kita sama-sama mendengar kematian Rendra.

Bagaimana dengan Bengkel Teater peninggalannya? "Alumni Bengkel silakan membangun komunitas masing-masing. Bengkel tak perlu dipertahankan, biar menjadi legenda," kata Rendra seperti diucapkan Sitok pada saya, beberapa waktu lalu saat saya bermalam di rumahnya.

Selamat Jalan, Mas Willy (ah, kenapa aku kini merasa akrab sekali denganmu?). Kematian tak akan mematikan daya hidupmu! Percayalah itu.***

Catatan: tulusan ini terbit di Batam Pos, Jumat (7/8/2009).

No comments:

Post a Comment