mencoba saja

Thursday, August 13, 2009

[KOLOM] Gairah Rendra

Oleh Hasan Aspahani
Pemimpin Redaksi Batam Pos

KAMIS, 6 Agustus 2009, Wahyu Sulaiman Rendra meninggal. Usia berhenti di angka 74. Ia tak akan pernah lagi berada di mimbar-mimbar resitasi puisi, di panggung pementasan drama, atau di podium orasi. Tapi, ia meninggalkan banyak hal berharga bagi kita, orang yang hidup sesudah dia, juga bagi negeri ini.


KAMIS, 6 Agustus 2009, Wahyu Sulaiman Rendra meninggal. Usia berhenti di angka 74. Ia tak akan pernah lagi berada di mimbar-mimbar resitasi puisi, di panggung pementasan drama, atau di podium orasi. Tapi, ia meninggalkan banyak hal berharga bagi kita, orang yang hidup sesudah dia, juga bagi negeri ini.

Selain sajak-sajak yang akan abadi menginspirasi orang dari zaman ke zaman, ia juga meninggalkan sejumlah artikel hasil pemikiran dan permenungannya. Tulisan-tulisan itu sama bernilainnya, sama pentingnya.

Meski tak terlalu mengerti, dulu, pada usia yang sangat dini, saya adalah orang yang tersemangati oleh apa yang dia sebut sebagai "daya hidup". Artikel tentang hal itu - sekarang susah sekali anak muda kita mendapatkan tulisan dengan daya gugah serupa itu - ditulisnya di sebuah majalah remaja di tahun 1986.

Bayangkan, seorang penyair besar menulis di sebuah majalah remaja. Ini adalah bagian dari serangkaian artikel bermuatan motivasi sangat tinggi, menggugah, dan bak tenaga banjir bah, ia mendobrak kesadaran. Pokoknya - semoga saya tidak berlebihan - ini tulisan yang bikin saya berani dan kreatif!

Saya bertanya pada Arswendo Atmowiloto tentang riwayat serial naskah Rendra itu. Sebenarnya, kata Wendo yang saat itu mengomandani majalah Hai di mana artikel itu terbit, artikel itu semacam "kecelakaan".

"Kami minta Rendra menulis tentang bermain drama," kata Wendo pada saya. "Tapi, Rendra ya begitu. Dia nulis macam-macam, melenceng dari yang diminta, dan ternyata bagus. Jadi dibiarkan saja," katanya.

Redaksi Hai juga tak menagih tulisan lagi ketika tiba-tiba Rendra saja berhenti menulis, tak menyelesaikan serial tulisannya sesuai kesepakatan. "Padahal honornya dibayar di depan, dan jauh lebih mahal dari tarif honor majalah Hai," kenang Wendo.

Apa yang ditulis Rendra? Mari kita baca - artikel itu kelak dibukukan bersama sejumlah tulisan lain dibawah judul "Rendra Memberi Makna pada Hidup yang Fana" - bagian pertama tentang "Kepribadian".

Supaya mudah, saya butir-butirkan apa yang dia tulis. Dan sebisanya, saya uraikan butir-butir itu.

1. Manusia adalah gabungan dari keterbatasan dan kemungkinan. Ada batas untuk cita-cita dan perencanaan manusia. Ada batas kenyataan alam yang harus diperhatikan.

Saya perlu waktu lama bagi saya untuk menelaah apa yang ia tulis itu. Tapi betapa benarnya, bukan? Kita memang dibatasi, tapi di balik keterbatasan itu ada kemungkinan yang harus kita cari, kita temukan. Jadi, pesan moralnya, jangan mengalah pada keterbatasan itu.

2. Ada pula watak-watak buruk yang membatasi kemampuan diri, yaitu kemalasan, kebodohan, ketakutan, ketidakjujuran, dan sebagainya.

Moral, Tuan Rendra. Moral. Itu yang engkau maksudkan bukan? Ya, etos kerja juga, keberanian juga, integritas juga, kecerdikan juga. Saya kira, kalau Rendra terjun ke dunia bisnis, dia akan jadi pebisnis yang hebat. Kalau dia terjun ke politik, dia akan jadi presiden. Saya kira begitu.

3. Pribadi yang mekanis yang serupa mesin, tidak pernah menyadari kemungkinan dan keterbatasan dan serupa itu. ia sudah disetel dan hidup berdasarkan setelannya.

Fleksibilitas. Kelenturan. Jangan jadi manusia yang kaku. Jangan mau disetel oleh keterbatasan kita. Jangan jadi mesin yang bekerja mekanistik. Manusia bukan mesin. Manusia mesin mungkin bekerja efektif untuk satu hal saja, tetapi dia akan tak berdaya ketika menghadapi masalah di luar satu hal itu. Jadi, jangan terpenjara pada keterbatasan dan karena itu jadi tak mampu menciptakan kemungkinan-kemungkian yang lebih baik.

4. Pribadi-pribadi yang kreatif justru memperhatikan keterbatasan dan kemungkinan yang ada di dalam dan di luar dirinya. Berkat kemauan dan kemampuannya, mereka berusaha agar kemungkinan itu bisa ada. Namun, sebelum itu keterbatasan-keterbatasan di dalam alam dan di dalam hidup ini perlu lebih dahulu disadari dan dipelajari.

Inti dari daya hidup itu adalah kreativitas. Kita tidak bisa kreatif, kalau kita tidak punya daya cipta. Kita tidak punya daya cipta kalau kita tidak tahu apa yang ada dan yang tidak ada di sekitar kita. Mencipta, bukankah itu mengadakan sesuatu yang semula tidak ada? Kata Rendra, "hanya dengan cara serupa itu ia mampu merencanakan kemajuan yang sungguh bisa dilaksanakan karena rencananya memang berdasarkan kenyataan."


5. Pribadi yang kreatif selalu merasa perlu untuk menilik dan mengoreksi diri. Ia perlu menciptakan suasana terbuka di dalam jiwanya sehingga ia bisa melakukan koreksi diri.

Nah, jika ajakan untuk kreatif adalah ajakan untuk berlari, maka Rendra pun mengajarkan bahwa kita harus sesekali berhenti, juga memperlamat laju lari itu. Ia mengajarkan untuk tidak tinggi hati. Kita harus menggapai langit, tapi tetap harus berpijak di bumi.

6. Manusia itu penuh daya yang kompleks dan sukar diduga. Apabila dilatih dengan baik, otot-ototnya, pancaindranya, syaraf-syarafnya, intuisinya, perasaannya, dan pikirannya akan merupakan sumber kemungkinan yang sangat besar.

Rendra percaya pada kemuliaan kerja. Ia suka pada remaja yang meskipun kurang sekolahan tetapi melihat seonggok jagung di kamar sebagai sebuah kemungkinan. Ia suka pada pemuda yang otak dan tangannnya siap bekerja. Sebagaimana dalam "Sajak Seonggok Jagung", pemuda itu ia bandingkan dengan pemuda lain yang tamat SMA tetapi tidak terlatih dengan metode. Ia benci pemuda yang pandangannya mencontek dari teks buku, bukan dari kehidupan.

7. Gairah usaha sangat menentukan dalam mengolah keterbatasan menjadi kemungkinan.

Gairah. Semangat. Ia tunjukkan itu pada bidangnya. Ia pendobrak teater modern di Indonesia. Ia mendirikan sebuah teater dengan metode latihan unik yang belum pernah ada sebelumnya, dan melahirkan seniman-seniman yang handal yang menjulang di jagad seni negeri ini. Bisakah itu semua dilakukan dengan semangat dan gairah yang setengah-setengah? Tidak!

"Saya tidak sedih, Rendra meninggal," kata Sutardji Calzoum Bachri. Kenapa? Karena dia tidak pernah meninggalkan kita, karena dia meninggalkan karya-karyanya. Karya-karyanya abadi untuk kita.

Maka, saya kira, yang menyedihkan adalah kalau kita tidak mengambil pelajaran dari karya-karya yang dia tinggalkan, buku-buku sajak-sajaknya, rekaman resitalnya, naskah-naskah teaternya, dan buah-buah pemikirannya. Kalau kita tidak melakukan itu, kita yang maharugi, dan saya kira di alam sana, Rendra akan bersedih karenanya.***

No comments:

Post a Comment