mencoba saja

Tuesday, February 1, 2005

Sebuah Tanya Untuk Aceh

Sebuah Tanya untuk Aceh
Puisi: Tsi Taura

Lewat layar-layar kaca kita saksikan
gelombang tsunami
Mengejar anak-anak manusia
Menerjang, menghempas ganas siapa saja
tak pandang usia atau jabatan
Mayat-mayat pun bergelimpangan di jalan-jalan
Berselimut koran-koran bekas
Plastik-plastik cabik dan ada pula terbujur kaku
Mengenaskan tanpa sehelai daun pun
Gempa dan gelombang tsunami
di bumi Serambi Mekah
Menyisakan ketidakmampuan melukiskan
kata-kata kepiluan, kesedihan, keperihan
emosi dan empati
Kita seakan kehilangan tinta untuk menulis
kehilangan air mata untuk menangis
yang tersisa adalah suci perenungan
kita tak berhak menggugatNya

Tuhan, murkakah kau pada kami?
ah, tak usahlah kita bertanya panjang
lehiatlah betapa hati kita sendiri
ingin begitu jujur menjawabnya...

*****


Denang Seratus Ribu Kunang-kunang (sebuah catatan belum selesai)
Puisi: Hoesnizar Hood

Denang oi,
Jangan sebut namanya
Aku tak mau dengar namanya
Karena sekalipun tidak dimimpipun enggan
Aku tak tau engkaupun tidak
Jauh dari seribu bayangan
Tapi tiba-tiba dia datang

Dan terbanglah seratus ribu kunang-kunang
Menjadi cahaya disatu pagi tak berwarna

Denang oi,
ciumlah saja kening kekasihmu dalam zikir terakhir
ucapkan sekuat badai batin doa mu mengalir

Kenapa harus ombak tempat kita berdendang
Kenapa harus laut tempat kita menari
Kenapa harus sunyi tempat kita menyesal
Kenapa harus diam tempat kita berdoa
Dan kayu, tiang batu, lumpur pepohonan sembilu
Pisau gelombang tak tertangkis
Kenapa harus Aceh tempat kita menangis

Denang oi,
Teka-teki tuhan jangan kau jawab
Jangan kau lukis sketsa wajah dukamu
Aku tau hatimu punah seperti punah kaca
Remuk selaman musim percintaan kita
Hanyut tanpa muara
Patah ditebing tak berdinding
Tenggelam dipuncak punca

Denang oi,
Jangan sebut namanya
Aku tak tau namanya
Tak hendak karena siapa dia
Tak tau karena tak ingin tau
Merah hitamkah atau biru
Seperti biru bibirku menyebut namamu

Pangillah tangis kalaupun masih dapat kita
timba airmata
Siat-lah pedih kalaupun dapat kita selam
sedepa luka
Pujuklah maut kalaupun mati dapat kau
lihat bentuknya

Denang oi,
Dan terbanglah seratus ribu kunang-kunang
Menjadi cahaya disatu pagi tak berwarna

Pujuk sekerat zikirmu jadi pualam
Telan bayang-bayang hitam yang tenggelam
Bersama harapan sezaman

Seratus ribu kunang-kunang pergi
Adalah harapan yang kita titipkan
membawa doa masa depan
Menuju matahari ke sebuah negeri abadi,

Denang oi,
Seratus tahun kenangan tergenang
Seratus senandung mendung
Seratus ratap senyap

Tapi satu cinta ku akan segera datang
berlabuh diserambi hatimu yang bimbang

*****

Atjeh di Penghujung Kata (Tsunami 2004)
Puisi: Iman Arifandi


Lahir aku di bumimu Ibu
Lahir aku pada puisi membisu
Bisu pada tanah yang tak ramah
Bisu pada laut yang kalut
Apakah aku harus berpegang
Pada ganggang berhulu pedang
Coba hadang maut
yang membentang
Sedang aku tahu

Aku hanya punya puisi
Dikala aku membendung amarah
dan cobaan Illahi
Coba tangkap sepah
Yang mengalirkan darah
Membujurkan ribuan jasad di tanah
Dan memuingkan kokohnya titah
Pada maut...
Pada maut aku kalungkan resah
Resah pada alam yang merekah marah
Membelah tuah menghanyutkan kisah

Atjeh di penghujung kata...
Ribuan masa, laut memberi arti
Menyimpan janji untuk anak negeri
Kini laut memungkiri
Dengan mengirimkan ribuan peti mati
Dan mengoyak luka Ibu Pertiwi
Adalah masa kemasa berkelana
dengan lautan mesiu
Kini harus menanggung seru
dalam lautan pilu
Adakah setitik cobaan darimu
Ya Rabby

Atjeh di penghujung kata...
Beri aku kias sejarahmu
Aku tak mau seribu tengku membatu
Dalam pigura rencong
negeri berpenghulu
Terlalu banyak yang kau beri
wahai tanah serambi
Dari kisah antah berantah
sampai rencong yang berdarah
Sampai aku pada malu
Hanya puisi pengantar setitik rasa
Sedangkan malang tak terbilang
Pada tanah yang hampir hilang

Atjeh di penghujung kata...
Seribu Tsunami mengukir lembah
Membelah resah
Diantara sengketa tanah yang tak sudah
Kala barisan maut meniti bumi Pertiwi
Menghadang setiap jengkal
yang menghela masa
Sudahkah aku berkata?
Aku tak tahu adakah sekarat
di ujung barisan nikmat
Lelah aku untuk mengatur langkah
Sampai aku pada malu
Malu aku pada marah
Malu aku pada serapah
Malu pada keluh kesah
Sedang aku hanya merangkai kata
dalam lautan puisi

Seribu puisi mampu aku beri
Seribu kata mampu aku meraja
Seribu rencong
mampu aku gendong
Tapi aku hanya ada sepah
Adakah aku di ujung resah?

Atjeh di penghujung kata...
Diam aku tak bersuara
Habis baris untuk aku merangkai
Peluhpun aku tak punya
Kuburkan aku bersama puing-puing
anak negeri
Ingin aku meraba
Dalam gelapnya asa
Merangkai langkah dalam titah
Tapi aku hanya sepenggal mimpi
Buat aku hadirkan siang yang telah mati

Atjeh dalam barisan doa...
Beri aku selangkah masa
Buat aku melihat dalam rasa
Biar kata tak lagi bermakna
Biar jiwa tak lagi beraga
Biar napas tak lagi mengulas
Atjeh dalam kata...
Tujuh rencong telah aku siapkan
Tujuh petala bumi pengambil tuah
Buat aku tengadah
Ya...Rabby...
Atjeh...
Aku hanya ada sepenggal puisi...

Dabo Singkep,30-12-04

*****

No comments:

Post a Comment