mencoba saja

Sunday, August 29, 2010

Mimpi Kembar

: Clara Ng

DIA yang bercakap di koridor kantor: lelaki
yang kelak mempertemukanmu dengan mimpi
kembar. Kau dengar. Dia bertanya tentangmu,
dan  hari-hari pun mekar jadi penuh binar.

Bayimu tidak mati. Ia jadi buku. Ia
menulis cerita sendiri untukmu. Dan
diam-diam ia bacakan dalam mimpi
pertama: satu dari mimpi kembarmu.    

Halaman-halaman bukumu bulu-bulu
sayapmu. Kau melayang tinggi sekali.
"Aha, kita bisa terbang!" Ada kalimat
itu di satu mimpimu, mimpi lain itu.

*

Aku mau menemuimu, menyamar jadi malaikat,
dan kalau kuberi kartu - tak ada namaku di
situ - maukah kau untuk tak menghilangkannya? 
Karena, ah, kuakui saja,  itulah satu-satunya
kartu nama yang pernah kupunya.

Read More...

Saturday, August 28, 2010

Tak Ada Sajadah Panjang

 KITAB suci adalah brosur pariwisata, menjanjikan nirwana. Kita pelancong di dunia: surga yang gagal dan sementara.

Doa kita yang pendek, tak sampai ke loket tiket. Kita terseret jauh koper besar, bekal kita yang cuma sia-sia, ternyata.

Mahal sekalikah harga pelancongan ini? Kendaraan besar menunggu. Di depan pintu. Kita, memberi selangkah pun ragu.

Read More...

Kau Bukan yang Dulu Lagi

Serasah daun bambu. Aglonema liar. Sisa air hujan. Berudu ditinggal induk. Jejak kedidi. Suara keruang. Bulatan-bulatan bayang matahari   

Langit sisa hujan. Suara atap. Kucing mengendap-endap. Angin pelan ditahan dahan. Jendela lupa ditutup. Lampu teras padam. Kursi basah. 


 Buih mengelak arus sungai. Batu mandi. Ikan melompati langkah air. Daun jatuh lalu hanyut dan nanti tenggelam juga. Tak ada yang berduka. 


Ada berang-berang, menyeberang. Kura-kura mengayuh tubuh sendiri. Capung menjuntaikan gelagah, mempermainkan paras air. 


 Sumur kecil. Rumpun keladi. Pohon sirsak. Ular daun. Jingga dada kadal. Suara timba jatuh, menepuk muka air. Lalu gemericik. Siul hari. 
 

Read More...

Sepanjang Lorong Kenangan

BERAPA selam bisa kita menyelam ke dalam hati dalam? Hati adalah sumur tak berdasar, lorong tak berujung, umpama koridor cahaya.
 
Seperti wajahmu subuh, berpupur embun yang tak terbasuh. Matamu ujung rangka payung, tak habis meneteskan, anak-anak hujan. 

 
Seperti wajahmu siang, terlumur peluh yang miang. Tubuhmu mentah, matahari adalah arang, menyala di atas panggang. Hari segera jadi matang.  

Read More...

Saat Lelap Semalam, Saat Mata Memejam

Antonio Machado (1875-1939)

Selelap semalam, saat mata memejam
Mimpiku itu - kesalahan mengagumkan!-
ada musim semi menjelang datang,
ke dalam hatiku. Aku menyeru
di sepanjang lorong rahasia itu
O, air, untukkukah datangmu?
air bagi hidup baru
yang tak pernah kuminum itu?



Selelap semalam, saat mata memejam
Mimpiku itu - kesalahan mengagumkan!-
ada sesarang rumah lebah,
di sini di hatiku ini
Dan lebah-lebah emas
menyusun putih ruang-ruang sarang,
menyarikan manis madu
dari kesalahanku yang dulu.

Selelap semalam, saat mata memejam
Mimpiku itu - kesalahan mengagumkan -
Ada kobaran api matahari mengantar
cahaya ke dalam hatiku.
Itu kobar api, karena kurasa hangat
seakan ia datang dari satu hati,
Itu matahari karena ia memberi cahaya
dan membawa airmata ke dalam mata.

Selelap semalam, saat mata memejam
Mimpiku itu - kesalahan mengagumkan!-
pasti telah datang Engkau: Tuhan,
datang ke sini, ke dalam hati ini.


Last Night as I was Sleeping
Antonio Machado

Last night as I was sleepingku
I dreamt - marvelous error!-
that a spring was breaking
out in my heart.
I said along with secret aqueduct,
O, water, are you coming to me,
water of a new life
what i have never drunk?

Last night as I was sleeping
I dreamt - marvelous error-
that I had a beehive
here inside my heart
And the golden bees
were making white combs
and sweet honey
from my old failures.

Last night as I was sleeping
I dreamt-marvelous error!-
that a fiery sun was giving
light inside my heart.
It was fiery because I felt
warmth as from a heart,
and sun because it gave light
and brouhgt tears to my eyes.

Last night as I slept,
I dreamt-marvelous error!-
that it was God I had
here inside my heart.

:: Translated by Robert Bly






 

 
 

Read More...

Friday, August 27, 2010

Otopsikografi










 Fernando Pessoa

PENYAIR itu penyamar-pendusta
Betapa mahir ia berpura-pura
Bahkan ia samarkan pedih-duka
dari sakit yang nyata ia derita

Dan mereka yang baca kata-katanya
Merasa ada pada apa yang ditulisnya
Bukan pedih bukan duka yang ia punya
tapi rasa lain yang tak mereka rasa

Dan begitulah juga bekas jejaknya
adalah dia liuk-liku dalam dada
Mesin jam kecil pada kereta
periang rasa pada pikiran kita 

Read More...

Tuesday, August 24, 2010

Pablo Picasso
 SENIMAN adalah wadah emosi-emosi yang berasal dari semua tempat: dari langit, dari bumi, dari guntingan kertas, lintasan bentuk, dari jaring laba-laba.

Read More...

Friday, August 20, 2010

Belajar dari Gambar-gambar dalam Sebuah Kitab yang Tak Ada

AKU belajar bahasa api, sekali berkata, habislah terucap semua
Aku menguji isyarat rumah, rambu pengarah, rindu yang remah

Aku mencoba nawaitu batu, tidak ucap apa-apa, terpahami semua
AKU mengingat hakikat pagar, apa yang kutabrak dan kulompati

Aku mencatat filsafat angin, menggelincir senantiasa di udara licin
Aku tak mengerti kata diri, semua termulai dengan konon-konon      

Read More...

Engkau Bertanya Apakah Kiranya Umpama Sajakku

SAJAKKU gema suara pohon tumbang, di hutan rambung
Hati pukah ditumbuk bimbang, bait putus tak tersambung

Sajakku lekat getah di tangkai subuh, tetes tak tertampung
Hangat darah di tandan tubuh, bau uap pacau membubung

Sajakku penoreh padah-padah, penoleh padahal-padahal
Tabur pacai - serbuk cendana - di titik paduk dan padan

Read More...

Monday, August 16, 2010

Indonesia Kami

INDONESIA kami adalah kerja. Peluh tidaklah sakral, tapi pasti ada makna harga. Kami bangga menyimbahkannya di tubuh kami.
 
INDONESIA kami adalah taman. Tempat penat diteduhkan, cengkerama dipertukarkan, kami saling tepuk bahu kawan.
 
INDONESIA kami adalah gedung yang tak miring, nasib kami diperdebatkan dengan cerdas hati, peka akal, bukan ngorok dan dengus babi.
 
INDONESIA kami adalah panggung. Di sini kami nyanyikan lagu kami. Kami resitalkan sajak kami. Kami liukkan tari kami. Kami menjadi kami.
 
INDONESIA kami adalah ruang kelas. Kami bergantian mengajar dan belajar. Mengarifi sejarah. Menyikapi saat ini. Merancang masa nanti.
 
INDONESIA kami adalah studio. Tempat hasil kerja lapangan dimatangkan. Ide-ide besar diperam dan ditetaskan. Gagasan-gagasan diperdebatkan.
 
INDONESIA kami adalah ladang. Di subuhnya kami asah parang. Menebas gulma. Menebang semak samun. Menanam tumbuhan pangan.

INDONESIA kami adalah kantor, tak ada mesin daftar hadir. Kami kerja sepanjang hari. Merancang rencana. Menganggar biaya. Membagi bidang.

INDONESIA kami adalah rumah. Segala rasa memernah: resah kesal, marah sangkal, betah tinggal. Rindu yang asing pun kesini memaut alamat. 

Read More...

Friday, August 13, 2010

Sajak yang Baik

Dylan Thomas


SAJAK yang baik memperkaya realitas. Dunia nyata jadi berbeda ketika puisi diimbuhkan padanya. Sajak yang baik menolong alam semesta berubah wujud, menolong siapa saja meluas pengetahuan tentang dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya - Dylan Thomas

Read More...

Tuesday, August 10, 2010

Selamat Menyambut Bulan Ramadhan

Puji Syukur Hanya untuk-Mu...
Tatkala ku tiba di malam penuh berkah,
Malam pertama kali pintu surga dibuka lebar,
Pertama kali pintu neraka ditutup rapat....

Inilah kesempatan kami untuk menjadi putih,
Dari hitam kelam yang menyelimuti hati...
Marhaban Ya Ramadhan...
Selamat Menyambut Bulan Ramadhan yang penuh berkah...

Oleh: Whandi
Situs : www.whandi.net

Read More...

Wednesday, August 4, 2010

Bukan Begini Seharusnya Aku Mengingat Ibu

SOAL SESAL. Waktu tak
ada padaku, waktu aku tak
ada. Waktu Ibu belum
duniakan aku. Waktu nanti
bumi jadi rahim ibuku.

PADAHAL PEDIH.
Melanglang lengang, aku
di padang pedang. Tubuh
basah, terbasuh darah.
Tak sudah sedih, tak
punah pedih, Ibu. 

PERIHAL PERIH. Kau
tak membagi sakit itu, Ibu,
padaku yang menjerit
juga, seperi kau halau
aku dari rahim rayamu.

Read More...

[KOLOM] Dia Sumbangkan 99 Persen Kekayaannya

Warren Buffet
Hari-hari ini, saya berpikir tentang uang. Bukan tentang bagaimana cara mendapatkannya, tetapi tentang betapa nisbinya benda itu, dan rasanya kini saya semakin realistis memandangnya.

Hari-hari ini saya berpikir tentang Warren Buffet, orang paling kaya sedunia, yang setelah dibujuk oleh Bill Gates, secara resmi menyatakan menyumbangkan seluruh kekayaannya untuk kegiatan sosial, untuk dana amal kemanusiaan (kecuali dia minta kurang dari 1 persen untuk disisakan!). Karena itu saya ingin sekali jadi orang sekaya dia!

Apa? Tidak percaya? Benar tidak salah, Buffet hanya minta kurang dari 1, satu, S.A.T.U persen. Janjinya ada disiarkan di Majalah Fortune Indonesia edisi perdana. Ia tulis sendiri. Janji saya: lebih dari 99 persen kekayaan akan digunakan untuk kegiatan amal semasa saya hidup atau setelah saya meninggal.

Buffet juga menimbau agar orang kaya di Amerika menjaminkan setidaknya separo dari kekayaan mereka untuk amal. Saya tak tahu berapa banyak orang yang menyambut imbauan itu. Tapi, itu sungguh terdengar sangat mulia.



Buffet sendiri, sudah sejak tahun 2006 memberikan teladan tentang kedermawanan. Ia sejak tahun itu secara bertahap menghibahkan sahamnya di Berkshire Hathaway, hingga terserahkan seluruhnya kepada yayasan filantropi, tanpa sisa lagi yang ia miliki. Saat ini, sudah 20 persen sahamnya tak di tangannya lagi. Dan selanjutnya, setiap setahun otomatis empat persen sahamnya ia sedekahkan. Bukan uangnya, tapi persen sahamnya, artinya si penerima, akan terus menerus menerima hasil dari saham itu.

“Saya tidak bahagia dengan keputusan itu,”  katanya. Ia tidak menyesal. Ia rupanya  tidak bahagia karena merasa belum banyak memberi, lalu ia ikrarkan tekad itu: menyerahkan lebih dari  99 dari seluruh kekayaannya.

Uang, sebenarnya tidak ada. Baiklah, uang itu ada, tapi abstrak! Uang hanya konsep. Konsep nilai, kata Richard Templar, dalam "The Rule of Wealth" atau “Kaidah-kaidah Kesejehateraan” (sebenarnya Templar melarang saya dan siapa pun yang membaca buku itu - dia menyebutnya Penganut Kaidah - memberi tahu orang lain bahwa saya adalah seorang penganut kaidah).

Pertanyaan Templar itu kira-kira begini: kalau saya pegang selembar uang Rp100 ribu, apa sebenarnya yang membuat lembaran itu bernilai 100 ribu? Ada serangkaian peristiwa sebelumnya. Ada serangkaian kesepatakan, tentang nilai-nilai. Ada kesepakatan dengan negara yang menetapkan nilai mata uang. Ada kesepakatan dengan bank sentral yang menetapkan lembaran tu bernilai Rp100 ribu.

Ada kesepakatan dengan lembaga yang mempekerjakan saya tentang berapa nilai tenaga dan waktu yang saya curahkan untuk memberi nilai pada lembaga bernama perusahaan itu. Saya tentu saja boleh tidak sepakat dengan itu.

Kalau uang itu adalah nilai, maka apa hubungannya dengan nilai-nilai yang lain? Nilai kesalehan sosial seseorang? Nilai yang saya peroleh ketika saya menolong dengan tulus?

Kawan saya membantah saya. Kata kawan saya itu, "sekarang semua diukur dengan uang! Kita bisa ditinggikan atau direndahkan orang tergantung berapa uang yang kita simpan."

Kawan saya ada benarnya. Saya tak bantah dia. Uang, karena kelenturannya, karena kemudahan konsep nilainya, akhirnya menjadi alat ukur perantara nyaris untuk segala hal. Dan memang untuk itulah dia ada: sebagai alat tukar. Ah, satu lagi alasan untuk tak terlalu mendewakan uang. Ia ternyata memang hanya alat. Alat tukar.

Uang, sekali lagi itu adalah kesepakatan yang kita sering lupa bahwa itu "hanya" kesepakatan. Artinya, kita bisa tidak sepakat. Saya mengingat beberapa peristiwa dulu, yang memapar ke saya bagaimana  kesepakatan itu bisa diabaikan.

Dulu, ketika bekerja membangun hutan tanaman industri, kamp kami dekat dengan perkambungan suku Dayak. Mereka kerap datang membawa sayur, buah, dan minta ditukar dengan barang saja: gula atau garam.  Primitif? Tidak, uang tak bernilai di tangan mereka, karena itu, dengan cara itu mereka menolak kesepakatan memegang nilai-nilai uang itu. Sepadankah garam dan gula dengan sayur yang mereka berikan? Itu soal lain. Itu soal kesepakatan lain. Bagi mereka, itu sepadan.

Ada batas-batas lain, yang dengan amat mudah, membuat uang jadi tidak berdaya. Misalnya, saya punya uang ratusan juga. Jumlah  yang cukup untuk membayar harga sebuah rumah yang saya inginkan. Tapi, si pemilik tidak ingin menjualnya, atau sudah menjual ke orang lain. Saya dan uang saya benar-benar tidak berdaya. Uang saya tidak bisa memenuhi hasrat saya untuk memiliki rumah itu.

***

Hari-hari ini saya memabaca Warren Buffet dan saya ingin kaya. Apakah kaya? Bagi Buffet, kaya itu sepertinya adalah: dia tidak cemas lagi dengan apa saja. Ia tak cemas lagi dengan bagaimana ia harus menjalani sisa hidupnya. Ia tak cemas lagi, bagaimana masa depan tiga anaknya. Kaya, bagi Buffet bukan memiliki banyak benda.

“Anak-anak telah menerima jumlah yang signifikan untuk kebutuhan mereka saat ini dan masa datang,” kata Buffet, dan yang penting, tiga anaknya itu bukanlah anak orang kaya yang manja. “Mereka hidup nyaman dan produktif,” kata Buffet.

Salah satu anaknya, menjadi musisi. “Saya tak melarang, saya dukung dia, tapi saya tak akan pernah memberi dia modal untuk rekaman,” kata Buffet.

Masa depan, dan anak-anak. Itu yang sering mencemaskan kita. Buffet telah mengatas kecemasan itu. Dan kini, baginya  aset yang paling berharga adalah waktu. Ya, waktu. W.A.K.T.U.  “Ikrar ini (menyumbangkan 99 persen dari seluruh kekayaannya), tak membuat saya menyumbangkan aset paling berharga, yaitu waktu,” katanya. Dia malah bisa mendapatkan waktu lebih banyak. Sesungguhnya, tidak mudah bagi Buffet untuk menjadi kaya, mengumpulkan nilai kekayaan yang berkali-kali menempatkannya dalam urutan pertama orang terkaya di dunia. “Saya telah bekerja!” katanya. Dan ia percaya pada keberuntungan. Dan kini ia ingin mengembalikan itu kepada yang lebih memerlukan. Itu yang ia perlukan, bukan lagi uang atau benda.  

“Sering terjadi, koleksi harta malah berbalik memiliki si empunya,” kata Buffet. Harta, rumah lusinan, pesawat pribadi bisa jadi beban. Buffet melepaskan semua itu. Ia mengubah gaya hidupnya.

Selain waktu, Buffet amat sadar, ia punya aset lain yang tak teruangkan, katanya, “Aset saya yang paling bernilai, selain kesehatan adalah berkumpul bersama teman-teman lama.”

Kawan saya bilang, “Buffet kan sudah kaya, sudah bosan dia jadi orang kaya”. Saya kali ini ingin membantah kawan saya itu. Benarkah dengan apa yang ada pada saya sekarang, pada keadaan saya sekarang ini, benar-benar tak ada yang bisa saya berikan pada orang lain yang membutuhkan? Saya memang masih mencemaskan masa depan saya dan istri saya nanti. Saya juga masih belum pasti dengan masa depan anak-anak saya dan saya bekerja keras untuk itu. Tapi, rasanya, banyak yang saya bisa berikan, tidak perlu menunggu sekaya Buffet dan tak harus memberi sebanyak yang sanggup ia berikan.[]

Read More...

Monday, August 2, 2010

Dihatiku Selalu Ada Cinta

T'lah lama ku mengarungi lembah-lembah berduri
Yang terus menusuk kalbu ku
Sehingga membuatku rapuh tak berdaya
Seakan hidup ini tak ada gunanya

Tapi... Ku yakin...
Semua itu hanya ujian
Semua itu bak permainan hati
Yang membuat hidup ini tak yakin akan cinta

Ku tak pernah menghapus cinta ini
Ku tak kan pernah membuangnya
Karna... dihatiku selalu ada cint
Dihatiku selalu ada asa untuk mencintai dan dicintai

Ditulis Oleh: Whandi
Situs: www.whandi.net

Read More...