mencoba saja

Friday, April 2, 2010

Seorang Kakek yang Mencari Anaknya

Seorang Kakek yang Mencari Anaknya

Sebagai manusia kita selalu gampang terharu. Pada apa yang menurut pandangan kita "menyedihkan". Atau mungkin bagi saya--ditambah dengan pikiran saya yang "macam-macam": "jangan-jangan itu akan menimpa saya". Atau juga yang selainnya, misalnya kenapa dia tetap "bertahan"? Bila sudah begitu saya malah merasa kasihan dengan diri saya sendiri.

Seperti beberapa waktu yang lalu, saya habis pulang SuMo. Waktu itu matahari sudah terbenam dan digantikan bulan dan bintang. Tentu waktu itu adalah malam. Dan malam selalu berpasangan dengan dingin. Saya naik angkot seperti biasanya. Nah, di dalam angkot tersebut ada seorang kakek yang tidak pakai jaket seperti penumpang lainnya. Tapi waktu itu Penumpangnya hanya saya dan dia. karena merasa bosan juga karena raut mukanya yang "sedih", saya ajak dia berbincang-bincang. Sekedar bertanya; "mau turun mana, kek."

Lalu terjadilah perbincangan yang panjang. Saya agak tidak bisa "mengerti" dia berbicara apa. Karena dia memakai bahasa jawa halus. Sedang saya bisanya kan bahasa Suroboyoan. Sebab lainnya saya berasal dari Madura. Dari perbincangan yang "melelahkan" itu saya tahu dia akan turun di jalan diponegoro dan perjalanannya masih akan berlanjut ke Benowo. Rumah saudaranya. Dan rupanya dia berasal dari Lamongan, dia tadi berniat ke rumah anaknya, seorang perempuan dan sudah menikah. Sudah 2 tahun tidak pulang dan tidak pernah memberi kabar. waktu sudah sampai di depan rumah anaknya, seperti alamat yang diberikan anaknya 2 tahun lalu, yang berada di Karang Menjangan. Ternyata rumah itu sudah berlabel "dijual". Tentu anaknya sudah tidak tinggal di situ. Padahal dalam perjalanan dari Lamongan ke Surabaya dia sudah ditipu. Ceritanya begini angkot yang dia tumpangi mau pulang--tidak narik lagi. Seperti biasa yang terjadi pada kita--dia dioper ke angkot belakangnya. Tentu dia bayar ke angkot yang mau pulang tersebut. Dia bayar pakai uang 100 ribuan. Entah, karena apa, mungkin lupa angkot itu tiba-tiba tancap gas. Padahal itu uang terakhirnya. Untung saja sopir di belakangnya baik. Saya terharu meskipun saya kadang tidak mengerti dia ngomong apa.

Dan sekarang dengan uang 3 ribu--dikasih tukang becak yang kebetulan mangkal di depan rumah anaknya, dia seangkot dengan saya. Saya tanya lagi: "dari Dipenogoro ke Benowo, bagaimana kek?" Dia menjawab akan "melampah"--yang kalau tidak khilaf artinya berjalan--dengan wajah ditegar-tegarkan. Padahal saya tahu dia sedang berjuang agar airmatanya tidak jatuh. Saya berpikir lagi,"Kek Jarak Diponegoro ke Benowo itu jauh, sekitar 3 Km, berjalan ya KO kakimu itu."
Aduhai betapa menyedihkan. Karena tidak tega, saya kasih dia uang 10 ribu. Karena juga tidak tahan menjawab pertanyaan-pertanyaan aneh di dalam kepala saya sendiri. Saya benar-benar terharu. Dia diam, tidak menjawab apa-apa. Tidak juga berkata terima kasih. Sepertinya dia benar-benar berjuang tidak menangis.

Akhirnya di diponegoro dia turun. Dia masih bingung sepertinya. Walaupun sudah saya jelaskan naik angkot mana-dengan detail. Mungkin karena saya menjelaskannya pakai bahasa indonesia. Saya terharu lagi, aduh kek, tua-tua begitu, ke Surabaya sendirian. Mungkin dia tidak kuat menahan kerinduan pada anaknya, dan akhirnya nekat.

Sampai Joyoboyo, saya juga turun. barulah saya sadar saya cuma punya 3 ribu. Saya bayar ke angkot itu. Dengan begitu saya sudah tidak punya uang. Aduh, ternyata saya yang harus berjalan dari Joyoboyo ke Ketintang. Saya terharu lagi pada diri saya sendiri. Dalam perjalanan dari Joyoboyo ke ketintang, saya mulai berpikir yang aneh-aneh lagi: Bagaimana kalau saya ditipu kakek itu? Mungkin kakek itu berbohong pada saya. Ah, betapa menyedihkan malam itu.


2010

No comments:

Post a Comment