mencoba saja

Friday, April 9, 2010

Cerpen "KISAH DARI SEORANG PENGEMBARA"

KISAH DARI SEORANG PENGEMBARA
Oleh Syaiful Bahri

| 1 |

Di kota ini kasus penjualan istri telah punah. Hanya karena sebuah kisah yang diceritakan seorang pengembara dari jauh. Rupanya terkadang sebuah kisah lebih menakutkan daripada hukum.

Ya, pengembara itu memang datang dari jauh. Begitulah kami menyebutnya, sebuah ungkapan karena kami tidak tahu dari mana dia datang, meskipun dia sudah menjelaskannya. Sebab memang kami tak pernah keluar dari kota kami. Oh, bukan, lebih tepatnya kami tak bisa keluar dari kota kami. Ada sesuatu yang menghalangi—sesuatu yang tak bisa saya jelaskan sekarang. Tapi seseorang—yang bukan berasal dari kota kami bisa keluar dari kota kami, seperti dia, tapi mereka tak bisa tinggal di kota kami lebih dari sehari, lagi-lagi karena ada sesuatu tang tak bisa saya jelaskan sekarang.

Katanya dia datang dari timur, dia mengembara dengan berjalan terus kaki ke arah barat. Sebuah tempat yang tanahnya sangat subur. Tanah surga. Tongkat yang ditancapkan saja pun jadi tanaman. Juga mempunyai kekayaan alam yang menakjubkan lainnya, seperti tambang emas, timah, perak dan logam mulia lainnya, dan minyak bumi. Tapi rakyat di tempat dia berasal itu tetap dilanda kemiskinan.Ah, mana mungkin? Mungkin dia sedang membual. Lanjutnya dengan berjalan terus ke arah barat, setiap kali sudah memutari bumi, dia bisa kembali menginjakkan kaki di tanah kelahirannya. Tapi katanya dia belum pernah kembali ke tanah kelahirannya.

“Bumi ini begitu luas, tuan,” katanya tanpa menunggu kami bertanya kenapa.

Memang sudah menjadi kebiasaannya setiap singgah, baik untuk mengisi persediaan air dan makanan atau memang berniat menginap barang satu malam, dia selalu menceritakan barang satu kisah kepada penduduk setempat. Entah karena kisahnya yang memang menyentuh atau karena cara dia bercerita. Orang yang mendengar kisahnya pasti akan bercerita juga kepada orang lain. Berkembang dari mulut ke mulut, begitu pula yang terjadi di kota kami, kisah itu pun menyebar seperti virus penyakit yang mematikan. Dengan waktu singkat, semua penduduk di kota kami pun tahu akan kisah itu.

| 2 |

Kisah ini berasal dari tanah kelahiran saya, saya ceritakan pada tuan-tuan karena kota ini agak mirip dengan tanah kelahiran saya. Dalam beberapa hal, misalnya saja budaya, seperti tarian yang saya saksikan kemarin, mirip sekali dengan tarian dari tanah kelahiran saya, tak usahlah saya sebut nama tarian itu, kesamaannya terlihat selain dalam gerakan juga gunanya, yaitu sebagai penangkal balak atau sial.

Kecuali juga saya sedang rindu kampung halaman.

Kisah ini bisa dibilang adalah mitos di tanah kelahiran saya. Kisah lama. Tapi terus diceritakan secara turun temurun, dengan berbagai varian. Saya mendegarnya dari ibu saya, ibu saya mendengar dari nenek saya, begitu seterusnya. Baiklah, saya ceritakan salah satu variannya pada tuan-tuan. Tentu bila saya singgah lagi ke sini saya ceritakan varian lainnya.

Namanya Bagus, budi pekertinya bagus seperti namanya. Tak ada orang yang bisa menandingi budi pekertinya itu. Dikenal sangat sabar. Bila tuan-tuan berbuat jahat padanya, misalnya meludahinya tanpa sebab, maka pastilah tuan-tuan mendapat balasan senyuman darinya. Tapi hidup selalu memberikan cobaan, bukan?

Pada suatu ketika, karena bosan hidup melarat bersama istrinya, Dewi, perempuan yang memiliki bulu mata yang sangat lentik, karena itu lelaki mana pun pasti tergoda untuk meniup bulu matanya, yang dinikahinya karena paksaan perjodohan, Bagus pun menjual istrinya kepada seorang kaya. Tentu dia lakukan tanpa sepengetahuan keluarganya dan keluarga dari Dewi.

Memang, di tanah kelahiran saya perjodohan seperti itu adalah hal biasa. Bayi yang baru lahir saja sudah dijodohkan, bahkan sejak di dalam kandungan, ada yang lebih menakjubkan, jauh sebelum ada tanda-tanda hamil pun bisa jadi.

Karena itu banyak yang menikah tanpa dinaungi cinta. Seperti yang terjadi pada Bagus dan Dewi ini. Meski pun ada kemungkinan cinta akan tumbuh dalam menjalani pernikahan itu. Tentu saja itu bersifat sangat spekulatif.

Bersama dengan diserahkannya Dewi pada orang kaya (sebut saja Radit) maka jatuhlah uang sesuai harga dari perjanjian mereka ke tangan Bagus. Untuk beberapa malam yang sudah melewati matanya, Bagus merasa bahagia. Sangat bahagia malah. Tapi masa depan selalu dilingkupi misteri, semua hal bisa saja berubah dengan telak. Jadi apakah yang terjadi setelahnya?

Aku senang sebab ranjang ini terasa lengang
Dan kakinya tak lagi berisik
Sebab sintal tubuhmu tak lagi mengganggu tidurku
Yang mengharuskan aku bekerja penuh semalam[1]


| 3 |

Dan di kamar ini, kamar dimana
Kita saling meminjam tubuh
Sedang turun salju, dingin sekali[2]


Begitulah yang terjadi setelahnya, dia menyesal. Ternyata dia menyadari bahwa dirinya sangat mencintai istrinya. Karena itu dia mencari rumah Radit untuk menebus kembali istrinya, kebetulan dia mempunyai alamat Radit.

Masuk ke rumah Radit dengan modal harta, jiwa, bahkan nyawa. Akan tetapi bukan untung yang dia raih, Radit tak mau menyerahkan kembali Dewi padanya.

Tentu saja Bagus sedih. Tak tahan menahan air mata yang terus turun seperti hujan di bulan Maret dia pun melaporkan pada keluarganya dan keluarga Dewi. Namun bukan dukungan malah hujat sekalian marah yang dia raih. Tapi ada juga yang merasa iba dan besedia membantu. Ditambah dengan beberapa temannya, dia kembali mendatangi rumah Radit. Radit tetap bersikukuh tak mau melepaskan Dewi.

Lantas terlintas di pikirannya, untuk mengadukan masalahnya pada raja. Tak perlu lama-lama. Dia langsung menemui raja. Ditanya keperluannya, lalu dia menjelaskan keluh kesahnya. Dia meminta bantuan raja untuk mengatasi masalahnya itu. Raja merasa iba. Raja memanggil Radit. Di istana, kepada Radit raja berkata, “dia itu aneh. Dia sendiri yang menjual istrinya padamu, dengan keinginannya sendiri tanpa paksaan dari siapa pun, lalu sekarang menyesal. Dan seperti kau lihat, keadaannya memprihatinkan sekali. Saya ingin menolongnya. Saya harap kau mau mengembalikan Dewi padanya. Saya yang akan menebusnya.”

Radit tak berubah pendirian. Dia tetap tak mau mengembalikan Dewi.

“Tidak Baginda. Saya tak bisa mengembalikan Dewi padanya. Saya sangat mencintainya. Bahkan cintaku padanya melebihi cinta dia. Saya takut bila Dewi saya kembalikan padanya, besok pasti saya juga akan meminta tolong pada Baginda. Dan saat itu, keadaanku pasti jauh lebih buruk ketimbang keadaan dia,” kata radit pada raja.

Raja masih merayu. Bahkan raja akan menebus dengan jumlah harta yang dimaui Radit. Radit tetap geleng-geleng kepala. Dia tak beranjak dari pendiriannya. Dia katakana pada yang hadir di situ, bahwa dirinya sangat mencintai Dewi. Bahkan dia tak bisa hidup tanpa Dewi.

Setelah gagal membujuk Radit, sang raja berkata kepada Bagus, “kau lihat sendiri, bukan? Saya tak bisa membantumu. Dia ternyata sangat mencintai Dewi. dia tak bisa hidup tanpanya. Bahkan kau dengar juga bagaimana dia mengatakan, bahwa dirinya takut bila Dewi diserahkan lagi kepadamu, maka dia akan tertimpa sesuatu yang lebih buruk dari apa yang menimpamu saat ini. Bersabarlah kau atas nasibmu ini.”

“Jadi Baginda benar-benar tak bisa menolong saya?” Tanya Bagus.

“Apakah kau tak melihat apa yang sudah saya usahakan untukmu?” sang raja ganti bertanya.

Radit, ya, Radit yang semula menjual istrinya atas kehendaknya sendiri, lalu menyesalinya, lalu menginginkannya lagi kini benar-benar putus asa. Dia lari ke atap bangunan kerajaan. Lantas menjatuhkan dirinya ke tanah. Raja kaget. Dia perintahkan pengawal melihat keadaannya. Aneh, Radit tak terlalu parah lukanya. Dia masih hidup. Padahal atap kerajaan itu sangat tinggi kira-kira seperti jauh perjalan seperempat hari dengan berjalan kaki tanpa berhenti. Tapi dia masih hidup. Dia kembali dibawa ke hadapan raja. Raja menanyainya, “Apa maksudmu dengan menjatuhkan diri dari atap kerajaan?”

“Apa artinya hidupku bila saya tak bisa lagi memiliki Dewi. saya sangat mencintainya.” Selesai menjawab, Bagus kembali berusaha lari ke atap kerajaan berniat menjatuhkan dirinya. Tapi kali ini dia berhasil dicegah.

“Allah Maha Besar! Saya telah menemukan putusan yang adil atas masalah ini,” kata sang raja tiba-tiba.

Lantas sang raja menoleh pada Radit, “ Tadi kau katakan, kau lebih mencintai Dewi ketimbang dia. Dan kau takut mengalami hal yang lebih buruk darinya bila kau serahkan lagi Dewi padanya.”

“Benar Baginda,” Radit menjawab.

“Kau lihat tadi, bukan? Tadi dia menunjukkan cintanya pada Dewi. Dia baru saja mencoba bunuh diri. Dia jatuhkan dirinya dari atap kerajaan. Andaikata Allah tak melindunginya, niscaya dia sudah mati. Nah, kini giliranmu membuktikan cintamu. Jatuhkan dirimu dari atap kerajaan sebagaimana dia. Bila kau mati, maka memang sudah saatnya ajalmu datang. Dan bila kau masih hidup, Dewi tetap menjadi milikmu selamanya. Dan bila kau tak mau melakukannya, akan saya ambil paksa Dewi darimu. Dan saya berikan padanya.”

Mula-mula Radit menolak. Namun kemudian dia memaksa dirinya. Dia naik ke atap kerajaan. Namun begitu dia berada di pinggir atap dan melihat ke bawah, dia urung. Dia tak jadi menjatuhkan diri.

“Mana buktinya? Katanya kau sangat mencintainya. Lakukanlah bila kau benar-benar mencintainya,” kata raja kepada Radit. Mendengar itu Radit terbakar. Dia kembali mendekati tubir atap. Namun, begitu melihat ke bawah, keberaniannya hilang. Dia beringsut karena ketakutan. Dia kembali urung. Hal itu dia lakukan berkali-kali. Raja jengkel menyaksikan hal itu, “Hai, kau jangan main-main! Pengawal! Pegang orang itu dan lempar dia ke tanah!!”

Radit ketakutan melihat kemarahan sang raja. Dia lantas berkata, “Baiklah Baginda, saya relakan Dewi untuknya.”

“Mudah-mudahan Allah menggantimu dengan yang lebih baik,” kata sang raja. Kemudian raja membeli Dewi sewajarnya. Dan menyerahkannya pada Bagus.[3]

| 4 |

Apakah kau mengira kisah dari pengembara itu berakhir dengan bahagia? Tidak juga. Ternyata Dewi tidak dinikahi oleh Radit. Melalui pengakuan Dewi, dia hanya dijadikan seperti layaknya budak.

Tentu pengakuan Dewi membuat Bagus sedih. Lebih sedih lagi menurut hukum islam, agama yang dianut semua penduduk di tanah kelahiran pengembara itu, Bagus belumlah boleh langsung menikahinya lagi.

Dengan begitu dia dengan berat hati “membiarkan” Dewi menikah dengan lelaki lain, dengan syarat harus menceraikannya dalam waktu sesuai perjanjian. Tapi dalam menunggu rentang waktu itu, tentu dia terbakar api cemburu yang sanggup membuatnya melepuh.

Bagaimana selanjutnya? Pengembara itu tak meneruskan. Dia hanya berkata, “Terlalu menyedihkan.” Lalu pergi begitu saja.

Tapi justru karena itu bayang-bayang ketakutan begitu menghantui bila kami menjual istri kami. Kami seperti diberikan kebebasan berimajinasi kelanjutan kisah itu. Saya katakan lagi justru karena itu bayang-bayang ketakutan begitu menghantui kami. Karena itu kasus penjualan istri pun punah di kota kami.

Dan kau tahu kenapa saya tuliskan kisah dari pengembara itu kepadamu? Karena saya tahu di kotamu masih ada kasus penjualan istri. Nanti, saya kirim surat lagi padamu.

***

Surabaya, April 2010.

Catatan Akhir:

[1] Dikutip dari Sajak ini Mestinya Ditulis Ayah karya saya sendiri.
[2] Dikutip dari Sajak ini Mestinya Ditulis Ayah karya saya sendiri.
[3] Dikembangkan dari sebuah kisah kecil di buku Di Bawah Naungan Cinta, yang disadur oleh Anif Sirsaeba dari kitab Tauqul Hamaamah, karya Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm El Andalusy, yang ditahkik oleh Abu Al-Mundzir Sa’d Karim Al-Faqy, terbitan Daar Ibnu Khaldun, tt. Cerpen di atas bertolak dari kisah tersebut.

No comments:

Post a Comment