mencoba saja

Thursday, April 22, 2010

Cerpen Budak

BUDAK
Oleh Syaiful Bahri

Cinta bagai maghrib yang mengurai warna jingga dengan suara adzannya. Lalu malam akan menyelimuti tubuhmu dengan sunyi, agar kau mendapat hikmah. Bagai biji tasbih yang berputar di dalam jiwa. Maka orang yang jatuh cinta patut menjaganya.

Lelaki itu sedang menyampaikan niat baik kepada ayah pacarnya, bahwa dalam waktu dekat dia akan melamar anaknya. Dia ingin melanjutkan hubungan dengan pacarnya itu ke jenjang serius. Menikah.

“Anda tidak pantas melamar anak saya, karena anda adalah seorang budak, “kata ayah pacarnya, dari segi penampilan dapat disimpulkan bahwa ayah pacarnya adalah seorang kyai.

“Maaf Pak, saya bukan budak.”

“Anda hamba Allah?”

“I-iya, Pak.”

“Anda tahu arti kata hamba?!”

“Ti-tidak, Pak.”

“Budak!!.”

Lelaki itu terdiam. Lelaki itu benar-benar terdiam. Dia merasa ada yang salah, kemudian berpikir sejenak.

“I-iya, Pak,” katanya. Entah kenapa dia berkata begitu, padahal dia masih merasa ada yang tidak beres.

“Karena itu anda tidak pantas melamar anak saya, apalagi menikah.”

“Tapi saya sangat mencintai anak anda, Pak.”

“Kalau begitu anda harus merdeka dulu.”

Lelaki itu terdiam lagi dan berpikir sejenak lagi. Tibalah dia pada kesimpulan bahwa betul juga perkataan kyai itu, kalau budak sama dengan hamba dan dia adalah hamba Allah, maka dia adalah seorang budak. Kemudian dia memutuskan untuk pulang dulu. Waktu telah terlalu malam.

Sebelum lelaki itu pulang, dia pamit pada ayah pacarnya dan pacarnya. Sebelum lelaki itu sampai pintu rumah, ayah pacarnya berkata, “Datanglah kemari, jika anda sudah bukan seorang budak. Baru nikahi anak saya.”
***
Sebenarnya tidak perlu pembaca ketahui bahwa dia adalah orang kaya, karena kekayaannya tidak banyak membantu menyelesaikan masalahnya ini. Karena itu seberapa kekayaannya pun sebenarnya tidak perlu pembaca ketahui, bahwa kekayaannya tidak jauh berbeda dengan Bill Gates, baik ketika Bill Gates menjadi orang terkaya sedunia atau pun ketika Bill Gates sudah lengser ke posisi ke tiga. Bahkan kekayaan lelaki itu mungkin melebihi Bill Gates.

Dia teringat cerita pacarnya, waktu lelaki itu bertamu ke rumah pacarnya, sebelum dia menyatakan niat melamar. Begini kira-kira cerita pacarnya, ada seorang pemuda yang jatuh cinta pada gadis yang baru dilihatnya di masjid tempat pemuda itu biasa mengerjakan shalat. Karena tertarik pemuda itu mengikuti gadis pujaan hatinya itu. Rupanya gadis itu menyadari bahwa ada seseorang yang mengikutinya. Kemudian sang gadis mendekati pemuda itu dan berkata, “Mengapa Tuan mengikuti saya?”

Sang pemuda berterus terang bahwa dia sangat mencintai gadis tersebut, padahal dia baru pertama kali melihatnya. Tentu saja sebagai gadis baik-baik dia jengkel atas perilaku pemuda itu. Tetapi jauh di dalam lubuk hatinya, dia senang atas perilaku pemuda itu. Tetapi sebagai gadis baik-baik, dia harus tetap menunjukkan sikap ketus dan marah.

“Wahai gadis pujaan hatiku. Kau ini seorang hamba sahaya atau gadis merdeka?”

“Saya seorang hamba sahaya.”

“Siapa majikanmu?”

Singkat cerita pemuda tersebut akhirnya membeli gadis itu, setelah tercapai kesepakatan kepada majikannya. Karena gadis itu juga menaruh hati kepadanya maka akhirnya mereka menikah.

Dari cerita itu dia hanya dapat menyimpulkan bahwa untuk merdeka, dia harus membeli dirinya sendiri. Mungkin dengan sejumlah uang. Tergantung kesepakatan. Tapi bagaimana caranya jika majikan itu adalah Allah?

Nah, karena merasa tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia bertanya kepada banyak orang, dari yang ahli sampai yang awam. Hasilnya nihil. Terlintas pikiran untuk menyerah saja. Dia bantah, walau dia menyerah dia tetap budak, dia menganggap berusaha untuk dirinya sendiri. Dia bantah juga, kenapa tidak menganggap untuk dua-duanya, menyelam sambil minum air. Karena itu dia tetap berusaha agar merdeka, agar tidak lagi menjadi hamba Allah. Maka sampailah dia pada seorang ahli fikih yang cukup terkenal.

“Pak, saya ingin menikah.”

“Lalu? Apa masalahnya?.”

“Nah, itu dia Pak. Saya ini seorang budak.”

“Kalau begitu gampang anak muda. Saya akan memerdekakanmu!”

“Benarkah?”

“Benar, anak muda. Siapa nama majikanmu?”

“Majikan saya Allah, Pak. Saya hamba Allah.“

“Tolong saya, Pak.”
***
Lelaki itu belum bisa menyelesaikan masalahnya, atau memenuhi syarat agar bisa menikahi pacarnya. Ahli fikih tempo hari ternyata tak banyak membantu. Satu-satunya yang dia dapat hanya sebuah alamat. Ahli fikih tempo hari menyarankan lelaki itu menemui seorang kyai yang dituju alamat itu.

Setelah membaca alamat itu, barulah lelaki itu sadar bahwa dia akrab dengan alamat tersebut. Tapi lelaki itu tidak ingat rumah siapa yang dituju alamat itu. Dan setelah sampai di rumah sesuai alamat yang diberikan, barulah lelaki itu sadar bahwa rumah yang dituju alamat tersebut adalah rumah pacarnya, sadarlah dia, kyai yang dimaksud adalah ayah pacarnya.

Karena merasa malu menginjakkan kaki di rumah pacarnya sebelum merdeka, terlintas lagi pikiran untuk menyerah. Tapi dia bantah lagi seperti alasan sebelumnya.

“Apakah anda sudah bukan hamba Allah, anak muda?”

“Belum, Pak.”

“Lalu?”

Lelaki itu diam sebentar, lalu berkata, “Saya ke sini bukan sebagai lelaki yang akan melamar anak gadis anda, bukan sebagai lelaki tempo hari. Tapi saya ke sini sebagai seseorang yang bertanya cara penyelesaian atas masalah saya, sebagai seseorang yang meminta saran anda. Dan anda sebagai orang yang mungkin mengerti dan tahu, sepatutnyalah anda menjawab pertanyaan saya.”

“Baiklah, apa yang ingin anda tanyakan?”

“Bagaimana cara saya agar saya bukan lagi hamba Allah, Pak?”

Kyai itu diam dan kemudian tertawa. Dan karena melihat kyai itu tertawa, tentu saja lelaki itu bingung dan diam. Dia berpikir jangan-jangan ada yang salah dengan pertanyaannya tersebut. Tapi bukankah pertanyaan itu lahir karena syarat yang diajukan kyai itu agar bisa menikahi anaknya? Jadi dia memutuskan untuk tidak bingung dan diam.

“Berapa uang yang harus saya bayar untuk memerdekakan diri saya sendiri, Pak?”

Kyai itu tertawa lagi. Tidak keras.

“Anda mempunyai uang berapa banyak?”

“Saya kira uang saya sangat banyak. Sangat banyak. Kalau uang saya tumpuk tingginya mungkin seperti Gunung Semeru.”

Kyai itu tertawa lagi, dan tawanya kali ini bertambah keras.

“Tapi uang anda tidak akan cukup. Karena anda hamba Allah!”

“Lalu apa yang harus saya lakukan? Apa yang harus saya lakukan agar saya merdeka?”

Kyai itu tertawa kembali. Tidak keras lagi. Dari cara beliau tertawa, jelaslah pertanyaan inilah yang beliau tunggu-tunggu.

“Saya tadi berkata kepada anda bahwa uang anda tidak akan cukup, akan tetapi, agar anda tidak lagi menjadi hamba Allah, anda tetap harus membayar dengan sejumlah uang, jumlahnya adalah semua uang yang anda miliki, uang itu anda serahkan saja kepada saya, nanti saya yang akan menyerahkan uang itu kepada Allah, “kata kyai kepada lelaki itu, dilihatnya lelaki itu mendengarkannya dengan serius dan mengangguk tanda dia mengerti dan setuju. “Tidak bukan begitu caranya anak muda. Tadi saya hanya bercanda. Hahaha, tertawalah, bukankah itu lucu? Sebenarnya anda cukup melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Mengerjakan shalat, puasa, zakat, haji…. Itu saja sudah cukup.”

“Dengan mengerjakan itu saya bukan lagi hamba Allah, Pak?”

Kyai itu tidak menjawab. Beliau hanya menyuruh agar segera mengerjakan apa yang beliau katakan tadi.

Lelaki itu menurut. Beberapa tahun kemudian, lelaki itu menikah dengan anak kyai tersebut. Sebelum ijab qabul, mempelai wanita menoleh pada ayahnya, mempelai wanita tersenyum, ayahnya juga tesenyum.

Sebenarnya lelaki itu masih hamba Allah. Mempelai wanita tahu itu, ayahnya juga tahu.

Cinta telah memberi lelaki itu hikmah. Bagai biji tasbih yang berputar di dalam jiwa. Meskipun lelaki itu mungkin tidak menyadarinya.***

Surabaya, April 2010

No comments:

Post a Comment